Sunday 25 January 2009

TUGAS AKHIR SEMESTER
FILSAFAT HUKUM
CITA HUKUM PANCASILA
OLEH :
NILA APRENI KUSUMA
0612011040
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2008

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia digunakan untuk segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti ini keyakinan bahwa negara harus menjunjung tinggi kebebasan, keadilan, dan kesetiakawanan. Pancasila selaku ideologi dan dasar negara Republik Indonesia merupakan landasan konstitusional yang sudah final selesai dan tak dapat diganggu gugat selain merupakan perjanjian luhur, budaya bangsa Indonesia, Pancasila erat hubungannya dengan Proklamasi kemerdekaan RI dan tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar NegaraRepublik Indonesia, 1945. Dengan ideologi Pancasila berarti eksistensi keberagaman (bhinneka) etnis, budaya, kepercayaan, agama, seni, dan sistem kekeluargaan yang menjadi falsafah hidup bangsa secara resmi diakui keberadaannya dan dirangkum dalam rumusan yang padat yakni Pancasila.
Eksistensi itu semuanya dikelompokkan menjadi lima kategori dan dituangkan dalam rumusan sila-sila Pancasila itu. Karena unsur-unsur yang masuk dalam masing-masing sila Pancasila adalah eksistensi budaya bangsa, karena itu Pancasila merupakan tradisi budaya yang niscaya. Sila-sila dalam Pancasila itu merupakan permata-permata budaya yang adiluhung. Karena adiluhung dan keniscayaan, oleh karena itu Pancasila itu harus dibumikan, masuk dalam kehidupan konkrit dalam berbangsa dan bernegara, masyarakat maupun dalam kehidupan kekeluargaan. Karena itu Pancasila harus dibelajarkan, dihayati, dan diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dan kalau paham bhinneka (pluralisme) sudah membumi, mustahil Indonesia sulit beribadah, sulit membangun rumah Tuhan sebagai salah satu wujud sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Tuhan yang disembah menyertai semua orang dalam keadaan untung ataupun malang.
Pancasila berperan penting dalam negara Indonesia sebagai suatu alat mengukur sejauh mana suatu peraturan perundang-undangan melaksanakan atau bertentangan dengan Pancasila. Kalau Indonesia ingin mempunyai Pancasila sebagai idiologi negara yang judiciable, maka seharusnya isi Pancasila itu dituangkan ke dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan kedudukan tertentu dalam hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia perlu revitalisasi dan aktualisasi. Itu dibutuhkan karena bagi bangsa Indonesia Pancasila lah yang paling cocok dan tepat digunakan sebagai ide dasar umum bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk masyarakat Indonesia yang multi kultur ini, Pancasila adalah kekuatan integratif. Bahkan untuk ini perlu manifesto politik dan penegasan kembali bahwa Pancasila penting bagi bangsa Indonesia. Yang paling penting adalah hukum atau peraturan-peraturan di negara kita, tidak boleh ada yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, karena Pancasila merupakan hukum dari segala sumber hukum.

B. PERMASALAHAN

1. Bagaimana kedudukan dan fungsi pancasila di negara Indonesia?
2. Apa saja cita hukum Indonesia berdasarkan Pancasila?
3. Bagaimana penuangan Pancasila di dalam peraturan perundang-undangan?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu Agar dapat mengetahui dan mengenal apakah hukum itu, sebelumnya harus dapat mengetahui ciri-ciri hukum, yaitu:
1. Adanya perintah dan/atau larangan
Bahwa hukum itu merupakan aturan yang berisi perintah atau larangan yang ditujukan kepada objek hukum.
2. Perintah dan/ atau larangan itu harus dipatuhi oleh setiap orang
Bahwa hukum itu harus dipatuhi setiap orang, karena telah menjadi kesepakatan bersama di dalam kontrak social. Dan bagi objek hukum yang melanggarnya akan mendapat sanksi berdasarkan hukum yang berlaku.
Tujuan hukum adalah untuk melindungi dan memajukan kemerdekaan yang benar. Hukum bertujuan untuk membuat manusia baik yakni menjuruskan mereka kearah tujuan terakhir mereka dan menumjukkan perbuatan manusia untuk mencapai tujuannya, sehingga tidak tersesat (W.Poespoprodjo, hlm. 154). Dipihak lain tujuan hukum adalah menegakkan keadilan, membuat pedoman, dan menajmin adanya kepastian hukum dalam asyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan
Filsafat adalah merupakan suatu renungan yang mendalam terhadap suatu objek untuk menumukan hakeket yang sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul cabang ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebanaran dikarenakan suatu pertentangan sudut pandang.
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.
Pancasila adalah moral positif Indonesia, ia merupakan eksemplar dari moral kemasyarakatan di kawasan Asia Timur. Pancasila merupakan cita hukum ("rechts idee") rakyat Indonesia yang berfungsi sebagai landasan bagi semua kegiatan pembentukan hukum nasional serta pedoman bagi praktek ketatanegaraan RI. Oleh karena itu, Pancasila sebagai "rechts idee" merupakan suatu keharusan bagi
eksistensi NKRI.
Struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Struktur adalah sifat fundamental bagi setiap system. Identifikasi suatu struktur adalah suatu tugas subjektif, karena tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan hubungan mereka. Karenanya, identifikasi kognitif suatu struktur berorientasi tujuan dan tergantung pada pengetahuan yang ada yang ada.
Tata hukum (recht orde) merupakan keseluruhan aturan dan prosedur yang spesifik, yang karena itu dapat dibedakan ciri-cirinya dengan norma sosial yang lain pada umumnya dan secara relatif konsisten diterapkan oleh suatu struktur otoritas yang digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum. Memberikan tempat yang sebenarnya yang menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup supaya ketentuan yang berlaku dapat dengan mudah diketahui.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara dibawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate). Sedangkan kata “adil” dalam bahasa Indonesia artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.

BAB III
PEMBAHASAN
1. Kedudukan dan Fungsi Pancasila
Kedudukan dan fungsi pancasila memiliki manfaat yang bisa mewujudkan kesejahteraan bangsa dan negara, baik dalam kedudukan sebagai dasar negara, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai ideologi bangsa dan negara RI, sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, ataupun sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
a. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Pandangan hidup terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur adalah suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi maupun dalam interaksi antara manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan terkandung dasar pikiran yang terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang baik, oleh karena pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat indonesia, maka pandangan hidup tersebut dijunjung tinggi oleh wargannya karena pancasila berakar pada budaya dan pandangan hidup masyarakat untuk mewujudkannya menjadi negara yang sejahtera (Wellfare State).
b. Pancasila sebagai Dasar Negara RI
Pancasila dalam kedudukannya ini sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar Falsafah Negara (Philosofische Grondslag) dari negara, ideologi negara atau (Staatsidee). Dalam pengertian ini Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan kata lain Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara. Pancasila merupakan suatu azas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum sehingga merupakan sumber nilai, norma serta kaidah baik moral maupun hukum negara. Dalam kedudukannya sebagai dasar negara pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
c. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara RI
Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan Kausa Materialis (Asal Bahan) Pancasila. Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara sehingga pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan negara indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi bangsa berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa dan bukannya mengambil ideologi dari bangsa lain.
d. Pancasila sebagai Jiwa dan Kepribadian Bangsa Indonesia
Yang dimaksudkan dengan kepribadian Indonesia ialah : Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia, yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia adalah pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa.
Keperibadian bangsa tetap berakar dari keperibadian individual dalam masyarakat yang pancasilais serta gagasan-gagasan besar yang tumbuh dan sejalan dengan filsafat Pancasila.
e. Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum
Pancasila merupakan suatu nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara, konsekwensinya seluruh pelaksanaan penyelenggaraan negara terutama segala peraturan perundang-undangan termasuk proses reformasi dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila, maka pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Pancasila merupakan kaidah hukum negara yang secara konstitusional mengatur negara RI beserta seluruh unsur-unsurnya (rakyat, wilayah, pemerintahan).
2. Cita Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila
a. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Diakuinya prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan keyakinan mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa, karena itu pengakuan segenap bangsa Indonesia menggenai kekuasaan tertinggi yang terdapat dalam hukum konstitusi di satu segi tidak boleh bertentanggan dengan segenap warga bangsa mengenai prinsip dan nilai-nilai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa.
b. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebgai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian besar masyarakatnya.
c. Persamaan Dalam Hukum (Equality Before the Law)
Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindak diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang disebut ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu mengejar kemajuan.
d. Asas Legalitas
Dalam setiap negara hukum dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due procces of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintah harus didasrkan atas peraturan perundang-undngan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku terlebih dahulu dari perbuatan administrasi yang dilakukan.
e. Pembatasan Kekuasaan
Kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balance’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain.
f. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Untuk menjamin kebenaran dan keadilan, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Hakim tidak boleh memihak kepada siapapun kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.
g. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Terbentuknya Negara dan penyelenggaraan kekuasaan Negara tidak boleh menguranggi makna kebebasan dan hak asasi manusia. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap HAM itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara.
3. Penuangan Pancasila Dalam Peraturan Perundang-undangan
Adanya instrumen hukum dan politik yang mengatur agar semua peraturan perundang-undangan memuat isi yang secara berjenjang konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang pada tataran puncaknya harus bersumber pada Pancasila sebagai rechtside yang menjadi sumber dan kaidah penuntun hukum. Instrumen hukum dan politik yang dapat mengawal agar isi peraturan perundang-undangan itu selalu sesuai dengan Pancasila berupa keharusan pembuatan peraturan perundang-undangan untuk selalu cermat yang kemudian masih dapat diuji lagi melalui “review” baik melalui judicial review, legislative review, maupun executive review. Peraturan perundang-undangan (regelings) adalah seperangkat peraturan yang dapat dibuat oleh berbagai lembaga yang berwenang di dalam suatu negara yang harus tersusun secara hirarkis berdasar bobot materi dan tingkat kewenangan lembaga yang membuatnya. Susunan hirarkis ini dimaksudkan untuk menjamin konsistensi isi peraturan perundang-undangan mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah derajat atau hirarkinya dengan kaidah penuntun berdasar Pancasila. Peraturan perundang-undangan yang tertinggi (UUD) harus bersumber dan berdasar pada Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UU harus berdasar dan bersumber pada UUD, Peraturan Pemerintah harus berdasar dan bersumber pada UU, dan seterusnya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kontekstualisasi dan implementasi Pancasila dalam bidang hukum, Pancasila dapat dijadikan sebagai margin of appreciation. Peranan Pancasila sebagai margin of appreciation yang mengendalikan kontekstualisasi dan implementasinya telah terjadi: (1) Pada saat dimantabkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada saat 4 kali proses amandemen; (2) Pada saat merumuskan HAM dalam hukum positif Indonesia; (3) Pada saat proses internal di mana The Founding Fathers menentukan urutan Pancasila. Diperlukan semacam konsensus politik yang baru dan jelas di tataran nasional untuk bersama-sama menata kembali dasar dan tatanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan ini. Sasarannya adalah mempertegas kembali kedudukan, peran dan fungsi Pancasila sebagai ideologi negara beserta semua wawasan nasional yang merupakan jabarannya. Apapun cara, forum dan bentuknya, pada akhirnya perlu ada produk yang secara hukum memiliki kekuatan mengikat seluruh komponen bangsa.
B. Daftar Pustaka
Pound, Roscoe. 1982. Pengantar Filsafat Hukum. Bharata Karya Aksara. Jakarta.
Achmadi, Asmoro Drs. 2001. Filsafat Hukum. Manajemen PT. Raja Gravindo Persada. Jakarta.
Purbacaraka, Purnadi S.H. 1994. Renungan Tentang Filsafat Hukum. Manajemen PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Widodo, Hartono S.H, & Judiantoro S.H. Mencari Hukum Suatu Pemikiran. Alumni Bandung. Bandung.
Friedmann, W. Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum. Manajemen PT. Raja Gravindo Persada. Jakarta.
www.google.com
www.wikipedia.com
View AdSense Ads For:

Brought to you by Digital Point Solutions

Saturday 24 January 2009

Chronological Developments in Cyberspace Law

Law and organized social living are integral parts of each other; modern human life is complex one but organized as well. How much modern life is being organized it is becoming more protégé of electronic and digital gear and internet.

Internet is the most advanced electronic communication system. Its role and function are being developed as inevitable part of life of man of this age. The legal developments in the history of internet are in initial stage we may trace the footsteps of legal development which has opted nationally and internationally.

UNCITRAL was established by UN in 1966 and it is stand for United Nation Commission on international Trade Law. Its basic purposes among various others to promote and adoption of new international conventions, model laws (a model law is a legislative text that is recommended to states for enactment as part of their national law) and uniform laws for international trade laws. The models laws which have been adopted by UNCITRAL in relating to the electronic commerce and electronic signatures were as underneath;

1. Model law on Electronic Commerce 1996.

2. Model law on Electronic Signature 1998- 2001.

These model laws played a fundamental role for preliminary enactment of electronic laws in various countries.

Wipo Copy Right Rules 1996 and Wipo Performance and Phonograms Treaty Rules 1996 are regulating the copy right infringements and trade mark issues at nationally and internationally. The ICANN Uniform Domain Name Disputes Resolution Policy 1998 a non-profit corporation that was created to supervise a number of Internet-related.

The Digital Millennium Copyright Act 1998 (DMCA) is a United States copyright law that implements two 1996 treaties of the World Intellectual Property Organization (WIPO). It criminalizes production and dissemination of technology, devices, or services intended to circumvent measures that control access to copyrighted works and it also criminalizes the act of dodging an access control, whether or not there is actual infringement of copyright itself.

The European Union passed the EU Copyright Directive or EUCD 2001, which addresses several of the issues as to criminalize production and broadcasting of technology, devices, or services intended to circumvent measures that control access to copyright.

The Information Technology
Act was enacted in the year 2000 with a view to give an impetus to the growth of electronic based transactions, to provide legal recognition for e-commerce and e-transactions, to facilitate e-governance, to prevent computer based crimes and ensure security practices and procedures in the context of widest possible use of information technology worldwide.

The Electronic Transaction Ordinance 2002 and Prevention of Electronic Crime Ordinance 2008 were enacted in Pakistan to provide legal recognition for e-commerce and e-transaction and to prevent computer based crimes in the contemporary digital age.

Evolution of legal process always run side by side the society move, problems and issues are always interrelated to all kinds of facilities that man adopts. The electronic age required to be recognized its uniform legal existence to resolve its issues coming forth. Model Laws and rules adopted by UNCITRAL are basis of all electronic laws and rules enacted and introduced at nations. World recognized uniform laws, rules and policies can only resolve the all electronic issues successfully.

(The Author is attorney of cyber laws in Pakistan

Friday 16 January 2009

Cyber Crimes, Space and so Forth -a Concept of Cyber Laws

Cyber law is a generic term, which refers to all the legal and regulatory aspects of Internet and the World Wide Web. This cyber law governs a boundless, timeless, space less, medium which has emerged to environ the future business, known as “cyber medium or cyber space”. The electronic medium that is being discussed here is the “internet”. The popularity of internet raised many critical questions about the regulations and the governance of various aspects. Internet grew in a completely unplanned and unregulated manner and continuing grow rapidly. With the population of Internet multiplying about every 100 days; the internet is becoming the new chosen atmosphere of the world. As the internet users are increasing day to day, the scope for committing crimes also increases. Therefore a need for a Law that would govern this medium was seen.



Under the laws for cyber space certain acts have been identified and classified as cyber crimes. A cyber crime is an offence whereby the mode of committing the offence is a computer system and the means is the internet. The psychological factors behind the person committing such cyber crimes can identified as greed, revenge, frustration, grievance and mismanagement. The acts classified as offences under the cyber law are; Hacking, Cyber stalking, Denial of service attack, Virus dissemination, Software piracy, Phishing, & Child Pornography etc. These crimes are real and are affecting everyone, individuals, business organizations, nation states & the international communities. These cyber crimes may be committed against Individuals, Organization, Company, Group of Individuals and Society at large. As the times pass by evolution of almost every thing tales place, so did an evolution take place in the cyber crimes. With the emergence of “Cyber Terrorism” this was evident.



Cyber Terrorism can be said to be the act of controlling a victim’s computers, allied information technology, particularly through the cyber space (Internet), to cause physical, real-world harm or severe disturbance. As the Internet continues to expand, and computer systems continue to be allocating more responsibility and while becoming more & more complex and interdependent, disruption or terrorism via cyberspace may become a more grave danger.



In the ordinary course of time, when an offence is committed by an individual, the subsequent action is either police report of the offence or investigation. On the successful completion of the investigation the offence is adjudicated by the judiciary, same is the case with Cyber Crimes. There are some techniques prescribed for investigation of such cyber crimes and there are also adjudicating authorities or courts established in order to hear and dispose these cases of cyber crimes.



Investigations into cyber crimes can be done through Computer Forensics and Time Stamping. Computer forensics is the process of Identifying, Procuring, Analyzing, & Presenting Digital Evidence in a manner that is legally acceptable in the court of law. Computer forensics is used to conduct investigations into computer related incidents whether the incident is an external intrusion into your systems, internal frauds or staff breaching your security policy. The most important factor in the investigation of cyber crimes is to prove the “Time” of the occurrence of the crimes, as time stands to be most important factor in computer forensics it is very important. Under the concept of time stamping crimes are synchronized as events of an accurate clock. In the case of cyber crimes it is almost impossible to commit a crime without leaving a time trail. The results of the time stamping are regarded as to be as undisputable evidence. Time stamping speeds up the investigation and dissuades the cyber criminals.



Adjudication of offences under any law is very important in order to penalize the offender. Adjudication is the legal process by which the Judge reviews the evidence and the arguments, including legal reasoning set forth by parties or litigants to come to a decision or judgment which determines rights and obligations between the parties involved, or in other common sense adjudication is the normal court procedure. The courts in United States of America have already begun taking cognizance of various kinds of fraud and crimes being committed in the internet. The victims of such Cyber crimes have found no healing remedy, they can either claim for civil damages or wait for the culprits to be caught and be tried under provisions, made for such offences committed in cyberspace.



In India, with the Information Technology Act, 2000 being in force the establishment an adjudicating authority is clearly visible under the Section 46, Chapter IX. This provision states that the Central Government may establish one or more cyber regulation appallet tribunals / cyber appallet tribunals, in order to adjudicate upon the matters of cyber crimes. It is further stated that all matters in such context may be referred to the High Court only through appeal. The statutes like Information Technology Act, 2000 and Indian Penal Code, 1860 lay certain provisions classify certain acts done through internet as offences under the law.



Globalization has caused a tremendous increase in the IT sector, resulting in the increase of cyber crimes in each and every corner of the world including the developing countries like India, Japan etc. These nations have opted for their own measures against such internet related offences. It is a very evident fact about the growth and evolution of laws through out the world, as the world grew larger so did the necessity of governing rules and regulations in the form of law were seen at a high priority. Today, same shall be the case with growing cyberspace and its allied difficulties.

Monday 12 January 2009

Medical Malpractice

We rely on our doctors. We rely on the fact that medical professionals are competent, educated, and are only going to help us with whatever kind of medical treatment we need. Unfortunately, however, doctors are only human and do make mistakes. The drastic consequences that we sometimes have to face due to medical malpractice are life changing.

Medical malpractice is defined as the negligent act, or failure to act, of a medical professional (including nurses and physicians assistants). In other words, when you seek the assistance of a doctor or medical professional, he or she owes you a duty of care. Medical professionals are held to a standard that they must meet when providing medical care. Should they breach that duty resulting in death or injury to you or your loved one, it can be medical malpractice.

When we put the care of ourselves, our families, and especially our children, in the hands of another, we are trusting them with what is most important to us. It is for this reason that medical malpractice exists. Medical malpractice laws seek to protect the American public from the preventable errors doctors and medical professionals make that cause injury and sometimes death.

Law suits have been filed against medical professionals alleging a variety of negligent acts including:

· Misdiagnosis or failure to diagnose

· Medication errors

· Adverse drug interactions

· Anesthesia mistakes

· Birth defects or injuries

· Improper procedure

· Wrongful death

· Errors in surgery

According to the Journal of the American Medical Association (JAMA), there are over 220,000 deaths attributable to medical malpractice every year. The JAMA also reported over 12,000 deaths due to unnecessary surgery and 7,000 deaths due to medication mistakes. There have even been reports of medical malpractice cases involving amputations of the wrong limb. These mistakes do happen, and the patients suffer the consequences. Medical malpractice intends to punish the medical professional or the hospital for negligence resulting in injury or death.

How Final are Arbitration Awards?

How Final Are Arbitration Awards?

The answer may surprise you.

For years, contractual arbitration awards have been subject to limited judicial review. Indeed, under State and Federal law, such awards could be challenged only on the grounds that they were procured by corruption or fraud or because the arbitrators exceeded their powers. Additionally, under Federal law, awards could be challenged on the ground that they were made in manifest disregard of the law, i.e., that the arbitrators knew and understood the law, but ignored it.

This may be changing. Not only have the number of court challenges increased, but several current cases suggest that challenges based on errors of fact or law may become available.

In Strobel v. Morgan Stanley, the plaintiff petitioned the U.S. District Court for the Southern District of California to vacate a securities arbitration award that granted her five thousand dollars in damages even though she lost more than a quarter of a million as a result of her brokers’ malfeasance. The court reviewed the sufficiency of the evidence and held that the arbitrators manifestly disregarded the law because they failed to recognize the firmly established facts regarding the plaintiff’s damages. Because the amount of damages awarded was not rationally related to the amount of damages the plaintiff suffered, the court remanded the matter to the arbitrators with instructions to increase the damages.

In Cable Connection, Inc. v. DirecTV, Inc., currently before the California Supreme Court, the key issue is whether parties to a commercial contract can agree that an arbitration award can be reviewed for errors of fact or law. In this case, the parties agreed that the arbitrators would not “have the power to commit errors of law or legal reasoning.” The trial court vacated the award on the ground that the arbitrators exceeded their powers by rewriting the parties’ agreement. The appellate court reversed, holding that the arbitrators did not exceed their powers but rather the trial court exceeded its powers by reviewing the award for errors of law and held that the award should be confirmed because the arbitration provision purporting to expand judicial review was unenforceable.

While the California Supreme Court recently heard oral argument in Cable Connection, it has not yet issued its opinion. To the extent the Court overrules the appellate court, it will strengthen an apparent movement toward enhanced judicial review of contract arbitration awards to include review of errors of fact or law. And, if such enhanced review is indeed the trend, then contractual arbitration will likely become less final (and possibly less desirable?) as an alternative to traditional litigation.

Avoiding Shareholder Litigation

Here are a few strategies that we have employed to deal with shareholder disputes:

Assert Inspection Rights. This can result in some surprising revelations which, in turn, may lead to interesting results.

Expand Board of Directors. Expanding a company's Board of Directors can avoid and/or eliminate a deadlock. It may also bring in a fresh point of view.

Purchase Control. If the shareholders each own an equal number of shares one shareholder may wish to consider paying a premium to buy a controlling interest in the company.

Seek Appointment of Provisional Director. If the corporation has an even number of directors and the board is deadlocked, any director or holder of at least 1/3 of the voting shares can petition a court to appoint a provisional director to break the deadlock. If the corporation has an uneven number of directors and the shareholders are deadlocked, any shareholder of at least ½ of the voting shares can petition a court to appoint a provisional director under certain circumstances.

File for Bankruptcy Reorganization. Under certain circumstances, a Chapter 11 bankruptcy reorganization can result in one shareholder, or a group of shareholders, gaining control of the corporation.

Initiate Involuntary Dissolution of the Corporation. Under certain circumstances (such as fraud, mismanagement or abuse), a court may order the dissolution of a corporation against its will initiated by at least 1/2 of the directors or 1/3 of the shareholders. (Depending on the facts, a shareholder with less than 1/3 can initiate this action.) The corporation or 50% of the shareholders may elect to avoid this result by agreeing to buy out the initiator's stock for fair market value.

Sell Company to Third Party. If the shareholders are unable to continue in business together, the shareholders may wish to consider selling the company to a third party.

Execute a Buy-Sell Agreement. Of course, one of the best ways to avoid a shareholder dispute is to have all shareholders enter into a written agreement that sets forth what rights the shareholders will have in the event of certain contingencies (such as death, disability or deadlock). This is ideally done when the company is first formed but can be done at any time, including when a dispute arises.

These are just a few of the possible approaches that may be considered when faced with shareholder disputes in California. If you are dealing with a problem of this sort, we would be pleased to provide a first consultation at no charge.

What is a Criminal Lawyer?

In law there are two basic types of off lawsuits: criminal and civil. Civil lawsuits are lawsuits between two private parties, often two people. Criminal lawsuits are lawsuits brought by the state or federal government against an individual or group. Civil cases are initiated by the victim, and criminal cases are initiated by the government through a prosecutor. Criminal lawyers are those who defend the plaintiff in criminal lawsuits.

What Criminal Lawyers Do

Criminal lawyers represent their clients in lawsuits that are initiated by the government. Their clients are individuals or groups who have been accused of acts that are crimes of some sort. It could be a misdemeanor, which is a less serious crime like drunk driving, or it could be a felony, which is a serious crime like murder that could end in jail time or even the death penalty. Many people think of felonies when they think of criminal lawyers, but criminal lawyers also represent plaintiffs who are facing misdemeanor charges.

Criminal Lawyers Early in a Defense

Many people who are being charged with a crime wait to hire a lawyer. Perhaps they think the charges will be dropped, or maybe they think that the potential punishment does not warrant the cost of hiring a lawyer. They may think they can represent themselves in an attempt to save money. Whatever the reason, this is a dangerous idea, because criminal lawyers can often be of the most help early in the process.

One way that a lawyer can help is by negotiating a dismissal of the case. Lawyers know how to spot potential weaknesses in the prosecutor's defense. Sometimes by presenting these weaknesses to the prosecuting attorney, they can help to negotiate a dismissal of the charge before the charges are officially filed.

A lawyer can also help a plaintiff by helping to negotiate a plea bargain. This involves an admission of guilt in return for a lessening of the potential consequences and an avoidance of the courtroom appearance. Many people charged with misdemeanors can avoid much of the expense of a court case by plea-bargaining.

Plaintiffs who are involved in crimes that are part of an ongoing investigation can use a criminal lawyer to help negotiate a lesser sentence in return for cooperation in the investigation. For instance, if a plaintiff knows information about another aspect of the crime that could help the prosecutors capture a high-profile criminal, the prosecutor may be willing to drop some charges in return for that information. A lawyer knows how to approach the police or the prosecutor to present this proposition.

Tips for Working with a Criminal Lawyer

If you are in a position where you need the services of a criminal lawyer, you need to work with your lawyer to ensure that your defense goes as smoothly as possible. Even if you are just facing minor charges, your lawyer is the only person who can help lower those charges and save you thousands of dollars and protect certain freedoms that you could lose with a "guilty" conviction.

No matter what, do not discuss your case with anyone other than your lawyer. Anything that you say about your case outside of your lawyer's office could be repeated in the courtroom. Your lawyer operates under "attorney-client privilege," which means that he cannot be forced to share with anyone what you tell him in confidence. Other people in your life do not have this protection.

Be honest and upfront with your lawyer. He cannot help you if you do not tell him exactly what happened, even if it makes you look bad. Answer all questions, and let your lawyer lead the defense. He knows how to best present the information so that you are honest, yet appear as guilt-free as possible to the jury or judge. Remember, your attorney is on your side, so treat him and his staff with respect as you work through your case.

The Art of Collecting Past Due Accounts Part 4: Protection for the Future

In the first three installments of this series, we examined the relevant issues facing a small business owner who has outstanding accounts with current customers. In this fourth and final article, we will deal with protecting the small business owner on a proactive basis, instead of the re-active approach required when dealing with current clients. As I have preached to my clients over and over again, the main weapon in your arsenal is information, information, information. As much as you can gather on your prospective client. Not only will this dramatically improve your chances of recovering the debt through legal process, but it often has the effect of screening your customers in a way you may have never done before, thereby preventing you from even stepping on the landmine in the first place.



It can not be stressed enough that information is key. The more you have of it not only betters your decision making process, but it helps tremendously in collecting on a debt. The information gathering begins immediately when a prospective client walks through your door. You should engage in the practice of filling out an information form with all pertinent information on the client. Start with the basic information, but make sure you get all of it. It seems rudimentary, but you would be surprised how many times this gets overlooked. Make sure you get the full name and address of the prospective customer. If it is a business, make sure to get a home address as well if possible. Get all contact numbers and emails, as well as alternates of each for your file.



In addition to the basic information, get more vital information. For an individual, get a social security number; or for a business, its EIN number. Get this information especially if it is a large account and ask permission to run a credit check. There are numerous companies in the market place which will conduct credit checks for nominal fees. These credit checks can tell a lot about the stability of the entity, with information such as credit which as been extended, judgments, lawsuits, and late payments. You can not rely solely on this information as it is never a complete look into the security of the entity, however, it does go a long way in helping you determine if there is any risk involved.



Now that you have the basic vital information, you need as much secondary information as possible. One of the best ways to get this information is by getting the prospective customer’s payment information. Try to obtain the customer’s credit card number to process payments. Another good practice is to accept the first payment by check. Accepting a non-certified check gives you two very important pieces of information, where they bank and their account number. As stated in previous articles, one avenue of execution is to freeze bank accounts. By getting this information early it greatly aids in execution later on.



Another piece of information to obtain is the customer’s license plate number off of their vehicle. Write this info down and keep it in the file. There is always a possibility that should the need arise, you could execute against the customer’s vehicle in order to recoup the debt.



Finally, the last measure taken needs to appear on your contract itself. You need to have an attorney’s fees clause written into your contract. These clauses are very simple and are very often overlooked by business owners. Put simply, it is a clause that states that should you be required to retain an attorney to represent you as a result of their breach, they will be responsible for your legal fees. You will then be able to file a lawsuit for the debt owed, plus reasonable attorney’s fees. It is critical that this clause be in your contract. Otherwise, when having to recover the debt through legal process, you will never become “whole.” This is one of the biggest complaints I hear, that they are simply owed the money, yet they do not receive all of it due to having to hire counsel. Simply by including this clause in your documents will allow you to recover your counsel fees upon execution. You still may be required to pay monies to your attorney upfront, however, you will still have the opportunity to make it up later on.



This series of articles was prompted by our very uncertain economic climate. I have personally seen these types of cases rise dramatically and can only surmise that they will continue to rise for the foreseeable future given the current economic outlook. While I agree with many of my clients who take the position that it is the customer’s duty to pay, the real duty is upon the business owner to protect himself from being taken advantage of. These articles are meant to help educate the owner on how to possibly avoid these problems, but are in no way to be considered legal advice on collecting accounts. You should take this information and find competent legal counsel to advise you on these matters. Your attorney will then be able to work with you in formulating and implementing these systems to your benefit.

he Art of Collecting Past Due Accounts Part 3: Taking Legal Action

The first two articles in this series dealt with ways that the small business owner can collect their accounts on their own. However, even the most bulletproof systems and follow-ups will not prevent people from not paying all the time. There comes a point, after the incentives to pay and after the notices to pay, in which you as the small business owner must act affirmatively to get paid. This is the point in time when you must get legal counsel involved.



This is the point in time where most small business owners are hesitant to act, however, if you have followed up numerous times and have given the debtor every opportunity to pay, odds are you have taken it as far as you could on your own. Most attorneys who do collection work have a streamlined approach to collections. Many practice in bulk, and want to collect your money as quickly as possible with the least amount of time and money spent. Make sure that when you retain counsel, you are informed of their fee schedules as well as their procedures in dealing with your particular type of case.



That being said, now that you have turned over this account to your attorney, who is considered a third party to the transaction, certain laws now come into play. The first thing your attorney should inform you of is the implications of Fair Debt Collections Act (FDCA). The FDCA is the main body of law which governs the collection of debt. Your attorney will be required to comply with the Act, which includes the Act’s notice provisions. The Act requires a thirty day notice be sent to the debtor informing them of the debt as well as including statutory language to comply with the act. After the notice has expired, the next step is a Court hearing. Your attorney will file a complaint on your behalf with the Court of competent jurisdiction to recover your debt. You will have a hearing on the merits of the case, and the Court will render a decision in the form of a judgment. Should the Court decide in your favor, you will receive a judgment against the debtor in the amount the Court deems just. At this point there seems to be some confusion with a lot of clients. Many clients think this is the end of the game, that the judgment is the last step. Unfortunately this is not the case. The judgment, once it becomes final and properly entered with the Court, merely gives you the authority to collect on the amount listed therein. You must execute on the judgment to receive your money.



Assuming now that you have a perfected judgment, how can you collect? There are numerous avenues that your attorney can exercise in order to collect your money. The first, and the one most commonly known, is the Sheriff’s Sale. You can file the appropriate paperwork and have the Sheriff levy the personal property of the debtor for sale. A public auction style sale is then scheduled on the debtor’s belongings. Sheriff’s Sales sound great, but in practice they are usually unsuccessful. Unless you have a debtor with either expensive assets or a personal vehicle that has equity in it, sales do not usually generate a lot of money. Ask yourself the question of how much you think a stranger’s used sofa is worth, not a lot. The real leverage you gain with a Sheriff’s Sale is fear. Prior to the sale, the Sheriff will enter the Debtor’s property and make a list of their belongings. He will also post a notice on their door, visible to the public, scheduling the sale. Many times, the debtor will not want the public embarrassment or to have strangers walking through their home bidding on their belongings. This threat alone leads to many debtors either paying the amount or entering into a payment plan with the creditor.



Other avenues open to execution are bank garnishments. Assuming you know where they have an account, you can freeze the debtor’s bank account and unilaterally remove the funds from the account, minus some statutory exceptions. Again, in addition to this being a means of recovery of the debt, many times the mere action alone has the coercive effect of making the debtor pay.



As you can see, while the legal system can be very effective, it can also be time consuming as well. The key to executing on the bad debts is two fold, first is to find a qualified attorney to represent your interests, and second, provide that attorney with as much information as possible to effectively represent you. The final article in this series will deal with formulating information systems prior to engaging in work for the client which will greatly aid you and your attorney in legally pursuing bad debt.

The Art of Collecting Past Due Accounts Part 2: Intermediary Measures

As we discussed in the first article in this series, there are steps and procedures that can be utilized by the small business owner to reduce the number of past due accounts on their books. In addition to these preventative steps, there are intermediary actions that can be taken on these accounts prior to initiating full blown collection proceedings.



The reason for the content of this article is a result of concerns voiced by small business owners. As stated in the first installment in this series, one of the main concerns small business owners have is the fact that, due to geographic constraints, there are a finite amount of customers. In light of this, the concern is to collect the overdue monies, yet not sour and loose the customer’s future business. This can be a very difficult task because of the two standard options presented to the small business owner. They can either submit the account to a collection agency for a barrage of nasty phone calls, or institute legal proceedings against the customer. Neither of these options are very attractive if your goal is to keep the customer’s repeat business. Therefore, I have often been asked are there any steps in between prevention and litigation.



The answer to this question is yes. The most successful measures center around a well organized follow up system designed to not allow an account to become stale. All too often, the owner will not even realize an account is past due until it becomes 90 days or longer past due. This is far too long to allow an account to sit without any follow-up. Additionally, it will be hard to instill a sense of urgency in the customer when he has already taken advantage of your mistake. In this instance, timing is everything.



The greatest success rates are yielded by a quick and concise system of follow up with each customer who is past due. Again, the goal is to collect the money and keep the client, which is why this intermediary step even exists, so keep that in mind. The follow up system needs to have set intervals of time and set procedures. First this will prevent invoices from falling through the cracks, and second, it will also cut down on the time and cost of having you or your employees deal with these past due accounts. These follow-ups are meant to augment your current systems of invoices and past due statements.



The first action should be taken no later than when the invoice is fifteen days overdue. This first follow up is very important since this is the very beginning of the problem. You or someone in your staff should immediately call, email or send a letter to the customer as a friendly reminder. Notify them that the invoice is past due, that maybe they forgot, and to please send payment. If you call the customer, be sure to follow up with a friendly email or short letter. Regardless, from here on out, you must document your attempts to get paid. The second thing this initial contact accomplishes is that it puts the customer on notice that you are serious and are not the type to simply turn a blind eye to their delinquency.



The second time to reach out to delinquent customer should be around 30 days overdue. This is usually the time when most owners send out a past due statement notifying the customer of their overdue balance. Not only should an overdue statement be sent, but the statement should now include the late charges (as we discussed in Part I of this series). Make sure the overdue amount is in bold-faced type as well as the late charge amount.



The third, and usually last attempt, occurs around 45 days past due. I advise my clients that this should be the last attempt made by them. This attempt can be by phone, but should be in letter form. It should notify the customer of the overdue amount, as well as reciting the dates and times of phone calls, voice mails left, and correspondence. Include an up to date invoice with all current charges. Lastly, inform the customer that should the amount not be paid within a short period of time, such as 5 to 7 days, that the account will be turned over to your legal counsel. Also be sure to “cc:” your attorney at the bottom of the letter.



If at this point you have not received any response from the customer, the owner only has two choices, pursue the monies legally, or simply write it off. I also find that my clients prefer to take these intermediary steps, even though it does take some additional time and effort on their part. In addition to the success rate of collecting money short of litigation, it also gives the owner the mental comfort of knowing that they did everything in their power to collect the money prior to a lawsuit. It gives them the peace of mind to know that they could not have done anything else short of litigation, and that loosing a customer such as this is not necessarily a bad thing.

The Art of Collecting Past Due Accounts Part 1: Preventative Measures

Given the current economic climate in our county, I am repeatedly asked this question by my clients in some form or another: “How can I collect on all of these past due accounts?” This is a very serious question, and for many of my clients, they have never had to pursue past due monies before. Many of my clients are small to medium businesses which regularly service smaller communities. Once upon a time, the mere possibility of a negative reputation in the local business community was enough to “coerce” clients into paying, which is why most of my clients were able to send out a simple invoice, net 30 days, and forget about it. It was a given that the invoice would be paid an overwhelming percentage of the time. Unfortunately, as it seems for a majority of small business owners, those days are gone. It is becoming increasingly more common for accounts to be 60 and 90 days overdue without even hearing from the customer. This whole situation was summed up in a conversation I recently had with one of my clients. He was totally frustrated and quite disappointed in his customers that they were not paying their bills on time, a concept that was totally foreign to how he operates his business. He summed up the economy with the old phrase “It seems more and more that people are robbing Peter to pay Paul these days.” To which I immediately responded, “Yes, but you have to do everything in your power to be Paul, rather than Peter.”
One of the biggest concerns to many of my clients is the fact that they are in a service related industry. The concern is that there are a finite amount of customers out there (even less nowadays), and they want the best of both worlds. They want to collect their money and also keep the customer, making a “no holds barred” approach to collecting money an option of last resort. This is not as large of a concern for major companies because their size allows them to pull customers from a much greater geographic area; but for the small business owner, the customer base is much more finite making every customer a valuable asset, not readily tossed aside.
The simple truth of the matter is that many business owners have a lot within their power to prevent some accounts from going past due. Additionally, the small business owner needs to have a streamlined system in place that, should an account become past due, the account gets acted upon quickly with proper safeguards in place that minimize the amount of time, energy and money expended by the owner in chasing his money.
The first preventative step deals with the owner’s terms, assuming that they have terms of course. I am constantly surprised by the amount of business owners that simply send out an invoice with no terms whatsoever, just based on the understanding that invoices should be paid within 30 days. There are two basic terms that can have a significant impact on when (and if) your invoice will be paid. The first is the often overlooked late charge. Many owners do not have them, and most of the ones that do have inconsequential late charges of 1%, hardly a coercive term. Make sure that your invoice and/or terms state that there will be a late charge assessed after 30 days, and make the charge significant with a minimum of 5%. I have seen owners get even more creative by escalating the late charge by the amount of days late, e.g. 5% from 30-60 days late, 7% 60-90, etc. Additionally, these charges only become effective if the owner utilizes them, after all, a hollow threat is really no threat at all. This is more of a long term approach, as your customers need to realize that you will in fact issue and hold these charges accountable. This will not happen overnight, but over the course of time, customers will begin to realize they cannot simply put your bill at the bottom of the pile because your bill will continue to grow with interest.
Conversely to late charges, another term which exudes a response to pay timely is an incentive clause. These terms reward prompt payment, such as 5% off the invoice if paid within 15 days. In this economy everyone is looking to save money, giving them a reason to pay your bill quickly in order to save on expenditures is a wonderful motivator.
The second major preventative measure deals with ease of payment by the customer. Making it easy for your customer to pay your bill is the single most important thing an owner can do. The two most significant tools you can utilize are credit card machines and payment plans on large accounts. Everyone knows that people are much more willing to swipe their credit card than to issue you a check. Start using a credit card machine and state on your invoice that you accept credit cards. You will of course have overhead with the machine and processing fees, but these pale in comparison to not getting paid at all. Plus, you can work these fees into your invoice to cover these added expenses.
The second tactic is using payment plans. These should only be used on accounts with large balances and only with those clients you are certain will make the payments. You must be careful in implementing payment plans. You want to be relatively certain that not only will the customer make good on the payments, but also that the timeframe of the payment plan brings the customer current within a relatively short period of time. Payment plans can have a positive mental effect on customers with large overdue accounts. Instead of them seeing a large overdue balance that is insurmountable, payment plans can be seen as attainable goals for the customer making it more likely to be paid rather than giving up on the entire balance. For these reasons, payment plans are not necessarily favored, but it does beat the alternative of not getting paid at all.
These simple techniques can be utilized by the small business owner to alleviate collection problems before they even begin. Future articles will deal with what happens when these preventative measures are not fruitful, and additional measures must be taken.

Lawyers Charge a Good Sum of Money

Most of you know the astronomical sums you have to pay to lawyers for simple cases. At times people are amazed at the high costs these legal executives cost. There have been instances when people had to pay consultation charges that were more than the cost of the thing they were trying to recover. But one just cannot avoid the fact that a good lawyer is your best friend at times when nobody else can help you. You might have insured yourself with a reputed insurance company against personal injuries but did you bother to read the fine print when you were signing the insurance document.

Most people do not bother to do so. The end result is that they are left high and dry and are not able to settle their claims amicably. At times the insurance companies take advantage of your lack of legal knowledge and use this advantage to deny you your dues. It is at such times that persons who are knowledgeable with these details can help you to recover your dues. There are many personal injury lawyer who will help you to recover your claims. Apart from that these lawyers will also accompany you when you are going to sign up the deal with the insurance agent to ensure that you are committing no mistake while filling up the insurance form.

These lawyers do cost a decent sum of money to retain, but the savings in the long run more than compensate for their fees. There is a saying, which goes “If you take care of your pennies, the pounds will take care of themselves”, and by getting hold of a decent lawyer to look after your personal injuries issues, and paying them their fees, you are taking care of the pennies. They will help to take care of your pounds when they help you to recover your dues that you could not have managed by yourself. Going ahead for injury claims entails a decent knowledge of insurance rules regulations.

If your claim form is not filled up properly, you might never be able to recover the amount you have demanded. It is in such situations that these lawyers show off their true colors and prove their worth. Do not look at these things from the money angle. Do you know how much time it will cost you to visit the insurance organization time over again? Have you ever thought how much money you can earn in that time? Add it all up together and you will find that you are better off in opting in for professional legal help rather than try to do it all by yourself. If you own a printing business, you can be rest assured that the personal injury lawyer will get their business cards printed from you. They do not know about printing and would prefer a professional printer undertake their printing needs. Similarly you should leave your injury related legal stuff in the hands of legal professionals.

Sunday 11 January 2009

TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM POSITIF DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Pemikiran tentang filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa jauh penerapan arti hukum dalma kehidupan sehari-hari, juga untuk menunjukkan ketidak sesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalah tafsirkan untuk mencapai kepentingan tertentu. Banyaknya kasus yang tidak terselesaikan karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi panglima dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok orang yang mampu membelinya atau orang yang memiliki kekuasan yang lebih tinggi.
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan
penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan di luar pengadilan.
Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Teori hukum berada di antara filsafat dan teori politik. Oleh karena itu didominasi oleh pertentangan-pertentangan antara keduanya. Teori hukum mengambil kategori-kategori intelektualnya dari filsafat, dan cita-cita keadilannya dari teori politik. Kontribusi khas dari teori hukum adalah dalam merumuskan cita-cita politik yang berkenaan dengan prinsip-prinsip hukum. Terminologi hukum yang khas kadang-kadang mengaburkan kedudukan teori hukum dan menimbulkan ilusi tentang kecakupan diri
Tujuan utama ataupun cita-cita Hukum adalah untuk mecapai kesersian/kedamaian/keadilan. Dengan menegaskan bahwa Pancasila adalah sendi Keserasian Hukum, memang haruslah terbukti bahwa benih keserasian tersebut terdapat dalam tiap silanya. Hukum dan politik ibarat dua sisi mata uang yang saling berseberangan tetapi adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan. Karena memang keduanya tidak terlepas dari satu dengan yang lainnya. Lalu apakah Hukum itu sudah ditegakkan dengan seadil-adilnya di Indonesia?. Apakah dewi keadilan masih tetap di”telanjangi” dalam menegakkan keadilan? Lalu sebenarnya untuk apa hukum itu dibuat? Apakah sebenarnya fungsi dan tujuan dari hukum itu?

1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana filsafat hukum memandang tujuan dan fungsi hukum itu? Bagaimana filsafat hukum memandang penerapan tujuan dan fungsi hukum di Indonesia?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Hukum adalah suatu tatanan yang menetapkan kepada setiap anggota masyarakt kewajiban-kewajiban dan dengan demikian kedudukannya dalam masyarakat melalui suatu teknik spesifik, dengan jalan menetapkan suatu tindakan paksaan, suatu sanksi yang ditunjukan terhadap anggota masyarakat yang tidak memenuhi kewajibannya. (Hans Kelsen, 1995, hlm.26).

Filsafat adalah merupakan suatu renungan yang mendalam terhadap suatu objek untuk menumukan hakeket yang sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul cabang ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebanaran dikarenakan suatu pertentangan sudut pandang.

Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.

Tujuan hukum adalah untuk melindungi dan memajukan kemerdekaan yang benar. Hukum bertujuan untuk membuat manusia baik yakni menjuruskan mereka kearah tujuan terakhir mereka dan menumjukkan perbuatan manusia untuk mencapai tujuannya, sehingga tidak tersesat (W.Poespoprodjo, hlm. 154). Dipihak lain tujuan hukum adalah menegakkan keadilan, membuat pedoman, dan menajmin adanya kepastian hukum dalam asyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan.

Fungsi hukum adalah penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial.

Penegakan hukum menurut L.J Van apeldorn mengatur pergaulan hidup secara damai, keadaan damai dapat terwujud apabila kesimbangan kepentingan masing-masing anggota masyarakat benar-benar dijamin oleh hukum., damai dan adil merupakan perwujutan tercapainya tujuan hukum, adil bukan berarti masing-masing anggota masyarakat menerima bagian yang sama tetapi bahwa kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum harus seimbang.

BAB III
PEMBAHASAN

a. Pandangan Filsafat Hukum Terhadap Tujuan Dan Fungsi Hukum

Jika kita berpaling kepada gagasan mengenai tujuan hukum yang sudah timbul didalam pemikiran yang sadar, kita mungkin akan mengenal tiga gagasan yang telah teguh pendiriannya berturut-turut didalam sejarah hukum. Gagasan pertama yang paling bersahaja adalah bahwa hukum itu diadakan supaya terjaga ketentraman di dalam suatu masyarakat tertentu, untuk menjaga perdamaian dalam keadaan bagaimana saja dan dipelihara dengan mengorbankan apa saja. Hukum itu bertugas memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Kemudian hukum itu merupakan tarif dari susunan yang eksak untuk tiap kerugian (Injury) yang terperinci dan bukannya dari azas-azas ganti kerugian yang eksak dari alat-alat untuk mengajak atau memaksa penyerahan semua perselihan kepada keutusan pengadilan dan bukan kepada sanksi.
Ahli-ahli filsafat Yunani sampai memahamkan kenaman umum dalam arti yang lebih luas dan memandang tujuan ketertiban hukum itu sebagai usaha memelihara status quo di dalam masyarakat. Mereka sampai kepada pemikiran bahwa keamanan umum dapat dipelihara dengan cara memelihara keamanan lembaga sosial. Mereka menganggap hukum sebagai suatu alat untuk menempatkan tiap orang didalam alur (groove) yang ditunjuk baginya didalam masyarakat, yang dengan demikian mencegah pereseran dengan sesamanya.dengan berbentuk pemeliharaan status quo didalm masyarakat, ini menjadi konsepsi tentang tujuan hukum pada bangsa yunani, dan seterusnya oleh bangsa Romawi dan kemudian oleh bangsa-bangsa Eropa dalam jaman pertengahan.
Gagasan yang kedua, Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai. Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (rechtidee) dalam Negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur :
1. Kepastian hukum (rechtssicherkeit)
2. Kemanfaat hukum (zeweckmassigkeit)
3. Keadilan hukum (gerechtigkeit)
4. Jaminan hukum (doelmatigkeit) (Dardji Darmodihardjo, 2002: 36)
Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum. Permasalahan Filsafat hukum yang muncul dalam kehidupan tata Negara yang berkaitan dengan Hukum dan Kekuasaan bahwa hukum bersifat imperatif, agar hukum ditaati, tapi kenyataannya hukum dalam kehidupan masyarakat tidak ditaati maka hukum perlu dukungan kekuasaan, seberapa dukungan kekuasaan tergantung pada tingkat “kesadaran masyarakat”, makin tinggi kesadaran hukum masyarakat makin kurang dukungan kekuasaan yang diperlukan. Hukum merupakan sumber kekuasaan berupa kekuatan dan kewibawaan dalam praktek kekuasaan bersifat negatif karena kekuasaan merangsang berbuat melampaui batas, melebihi kewenangan yang dimiliki. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah dholim. Hukum mempunyai
hubungan erat dengan nilai sosial budaya. Hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, masyarakat berubah tak dapat dielakkan dan perubahan itu sendiri dipertanyakan nilai-nilai mana yang dipakai (Budiono K, 1999: 37). Di dalam perubahan pasti ada hambatan antara lain:
(a) nilai yang akan dirubah ternyata masih relevan dengan kepribadian Nasional,
(b) adanya sifat heterogenitas dalam agama dan kepercayaan yang berbeda,
(c) adanya sikap masyarakat yang tidak menerima perubahan dan tidak mempraktekkan perubahan yang ada.

b. Pandangan filsafat hukum terhadap penerapan tujuan dan fungsi hukum di Indonesia.

Dunia akan kacau seandainya hukum tidak ada, tidak berfungsi atau kurang berfungsi. Ini adalah suatu kebenaran yang telah terbukti dan diakui bahkan sebelum manusia mengenal peradaban sekalipun. Filsafat hukum itu merupakan percobaan untuk memberikan suatu uraian yang masuk akal mengenai hukum pada suatu waktu dan pada suatu tempat, atau daya upaya untuk merumuskan satu teori umum tentang ketertiban hukum guna memenuhi kebutuhan perkembangan hukum pada suatu masa tertentu, atau percobaan untuk menyatakan secara universal hasil dari percobaan dan menjadikannya cukup bagi hukum dimanasaja dan kapan saja.
Penerapan Filsafat Hukum dalam kehidupan bernegara mempunyai variasi
yang beraneka ragam tergantung pada filsafat hidup bangsa (Wealtanchauung)
masing-masing. Di dalam kenyataan suatu negara jika tanpa ideologi tidak
mungkin mampu mencapai sasaran tujuan nasionalnya sebab negara tanpa
ideologi adalah gagal, negara akan kandas di tengah perjalanan. Filsafat Hidup
Bangsa (Wealtanchauung) yang lazim menjadi filsafat atau ideologi negara,
berfungsi sebagai norma dasar (groundnorm) (Hans Kelsen, 1998: 118). Nilai
fundamental ini menjadi sumber cita dan asas moral bangsa karena nilai ini
menjadi cita hukum (rechtidee) dan paradigma keadilan, makna keadilan
merupakan substansi kebermaknaan keadilan yang ditentukan oleh nilai filsafat
hidup (wealtanchauung) bangsa itu sendiri (Soeryono S., 1978: 19).
Indonesia sebagai negara hukum (Rechtsstaat) pada prinsipnya bertujuan
untuk menegakkan perlindungan hukum (iustitia protectiva). Hukum dan cita
hukum (Rechtidee) sebagai perwujudan budaya. Perwujudan budaya dan
peradaban manusia tegak berkat sistem hukum, tujuan hukum dan cita hukum
(Rechtidee) ditegakkan dalam keadilan yang menampilkan citra moral dan
kebajikan adalah fenomena budaya dan peradaban. Manusia senantiasa berjuang menuntut dan membela kebenaran, kebaikan, kebajikan menjadi cita dan citra
moral kemanusiaan dan citra moral pribadi manusia. Keadilan senantiasa terpadu
dengan asas kepastian hukum (Rechtssicherkeit) dan kedayagunaan hukun
(Zeweckmassigkeit).
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik,seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara permasalahan di atas, yang paling disoroti adalah penegakan hukum itu sendiri. Penegakkan hukum adalah suatu proses yang sudah ditentukan dalam norma-norma hukum positif, dimana dalam proses tersebut harus dilalui tahapan-tahapan agar penegakkan hukum dapat menghasilkan keadilan dan kepastian hukum.
Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu korban atau melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum ini.
1. Ketidakpercayaan Masyarakat terhadap hukum
2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan
3. Pemanfaatan Inkonsistensi Hukum untuk Kepentingan Pribadi


BAB IV
KESIMPULAN

Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia.Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

FUNGSI DAN RELEVANSI FILSAFAT HUKUM BAGI RASA KEADILAN DALAM HUKUM POSITIF R ARRY Mth. SOEKOWATHY

PENGANATAR FILSAFAT HUKUM ROSCOE POUND

TEORI & FILSAFAT HUKUM TELAAH KRITIS ATAS TEORI-TEORI HUKUM W. FREIDMANN

RENUNGAN TENTANG FILSAFAT HUKUM PURNADI PURBACARAKA DR. SOERJONO SOEKANTO SH. MA.

www.wikipedia.org
Penegakan Hukum Di Indonesia, Mariojogja’s Blog

TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN MUTILASI BERDASARKAN TOERI PSIKOLOGI KRIMINAL

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasranya telah terjadi selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, banyak suku-suku di dunia yang telah melakukan budaya mutilasi diamana perbuatan tersebut merupakan suatu identitas mereka terhadap dunia, seperti suku aborigin, suku-suku brazil, amerika, meksiko, peru dan suku conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum perempuan dimana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan mereka, yang sering disebut dengan Female Genital Mutilation (FGM). FGM merupakan prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan yang paling sensitif.

Pada kenyataannya, belakangan ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai estetika dan nilai filosofis, tetapi Mutilasi sudah termasuk kedalam suatu modus operandi kejahatan dimana para pelaku kejahatan menggunakan metode ini dengan tujuan untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit untuk dicari petunjuk mengenai identitas korban, serta meghilangkan jejak dari para korban seperti memotong bagian-bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian, seperti kepala, tubuh dan bagian-bagian lain tubuh, yang kemudian bagian-bagian tubuh tersebut dibuang secara terpisah.

Maraknya metode Mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor, baik itu karena kondisi psikis dari seseorang dimana terjadi ganguan terhadap kejiwaan dari seseorang sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat digologkan sebagai tindakan yang tidak manusiawi tersebut, karena faktor dari sosial, karena faktor ekonomi, atau karena keadaan rumah tangga dari pelaku.

I.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. pengertian mutilasi
2. faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan Mutilasi berdasarkan teori psikologi criminal
3. dampak kejahatan mutilasi bagi masyarakat
4. pencegahan kejahatan mutilasi


BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Pengertian

a. Mutilasi
Mutilasi adalah aksi yang menyebabkan suatu atau beberapa bagian tubuh (manusia) tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, yang termasuk mutilasi misalnya amputasi, pembakaran, atau flagelasi. Dalam beberapa kasus, mutilasi juga dapat berate memotong-motong tubuh mayat manusia.
Beberapa kebudayaan mengizinkan dilakukannya mutilasi. Misalnya di cina, ada budaya mengikat kaki seorang anak perempuan. Ikatan tersebut tidak boleh dilepaskan hingga ia tua, dengan demikian kakinya akan tetap kecil. Kaki kecil di cina melambangkan kecantikan. Dalam kebudayaan Islam, mutilasi diberlakukan bagi mereka yang terbukti mencuri, biasanya berupa amputasi.

b. Kejahatan
kejahatAn adalah rechtdelict, artinya perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Pertentangan ini terlepas dari perbuatan itu diancam pidana dalam suatu perunadang-undangan atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan masyarakat sebagai pertentangan dengan keadilan.

c. Kejahatan Mutilasi
Kejahatan mutilasi adalah jenis kejahatan yang tergolong sadis, dimana pelaku kejahatan tersebut tidak hanya membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain melainkan juga memotong-motong setiap bagian tubuh korbannya. Menurut beberapa ahli kejahatan pidana, biasanya kejahatan ini terjadi tergantung pada keadaan psikis si pelaku, dimana si pelaku cenderung mengalami gangguan kejiwaan, pada pendapat lain ahli berpendapat bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan susulan dari sebuah kejahatan pembunuhan yang dimaksudkan untuk menutupi kejahatan pembunuhan tersebut sehingga korban tidak diketahui keberadaannya ataupun jika diketahui maka akan mengelabui penyidik dalam mengungkap identitasnya.

Namun, terlepas dari semua hal tersebut kejahatan mutilasi ini kerap sekali terjadi dilakukan oleh orang-orang yang mengalami depresi dan gangguan kejiwaan, bahwa dengan tidak memotong-motong tubuh korbannya, pelaku seringkali tidak puas untuk menyelesaikan kejahatannya.

Dalam kurun waktu tiga minggu pertama pada bulan januari tahun 2008, telah terjadi 7 (tujuh) kasus mutilasi di Jakarta utara. Salah satunya terjadi di hotel kelas melati didaerah Koja Jakarta Utara, dimana sesosok mayat tergeletak di lantai kamar hotelnya dalam keadaan bugil, tragisnya di TKP pada mayat wanita tersebut ditemukan dengan tanpa kepala, alias badan dan kepala korban pisah, hanya badan saja yang ada di sana, diperkirakan korban berusia 24 tahun.

Polisi berusaha menemukan segala petunjuk di TKP tersebut, dalam kejahatan mutilasi ini ahli forensik sangat berperan besar dalam mengungkap identitas si korban, mulai dari penelusuran dari tanda-tanda lahir yang ada di tubuh si korban sampai pada tanda khusus yang tertera di tubuh korban tersebut (seperti tato, dll). Dalam penanganan kejahatan mutilasi ini, ahli forensik memiliki kesulitan tersendiri dibandingkan dengan kejahtan pembunuhan biasa, otopsi dilakukan dengan prosedur khusus bahwa tubuh korban yang akan di otopsi tidaklah lengkap dan utuh seperti yang terjadi pada pembunuhan biasa.

Peristiwa mutilasi, makin banyak dan makin mengkhawatirkan saja. Dalam stu tahun terakhir saja, dihitung sejak tahun 2007, sedikitnya telah terjadi empat belas (14) kali kasus mutilasi. Tentu saja yang terjadi di tahun 2008 ini pantas membuat kita kaget. Karena dari 14 (empat belas) kasus itu, tujuh diantaranya terjadi di bulan januari, hanya dalam tempo 24 hari terakhir.

Kalangan ahli tidak seragam dalam melihat perilaku mutilasi, karena motif dan karakter perilaku pelakunya memang beragam. Tapi banyak yang melihat tindakan ini termasuk kelainan, perilaku psikopat. Pelaku mutilasi adalah orang-orang yang tidak memiliki suara hati dan cenderung mengalami gangguan jiwa.

Mmelihat kasus-kasus mutilasi yang terjadi, ada dua hal yang bisa kita ketahui. Pertama, motivnya kebanyakan terkait dengan perilaku seksual, dan kedua, kasusnya relative sulit diungkap, bahkan sebagian besar tidak berhasil diungkap oleh polisi.

Apapun alasannya yang dikembangkan mengenai kejahatan mutilasi, seharusnya pelaku kejahatan ini dijerat dengan hukuman mati layaknya apa yang diatur dalam pasal 340 KUHP (tentang pembunuhan berencana). Aparat penegak hukum diharapkan dapat menafsirkan dan mempersamakan kejahatan ini dengan kejahatan pembunuhan berencana walaupun dalam melakukannya setelah korban mati terlebih dahulu. Mengingat bahwa pengaturan dan batasan pengertian tentang kejahatan ini tidak dijelaskan secara spesifik dan tegas di dalam undang-undang hukum pidana Indonesia.

II.2 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Mutilasi Berdasarkan Teori Psikologi Criminal

a.Personality Characteristic (sifat-sifat kepribadian)
Empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan antara kepribadian dengan kejahatan.
- Pertama, melihat pada perbedaan-perbedaan antara struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat;
- Kedua, memprediksi tingkah laku;
- Ketiga menguji tingkatan di mana dinamika-dinamika kepribadian normal beroperasi dalam diri penjahat; dan
- Keempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.
Berdasarkan teori ini kemungkinan untuk dilakukannya sebuah kejahatan mutilasi yaitu dapat terjadi karena sifat-sifat kepribadian dari seseorang.

b. Teori Psikoanalisa, Sigmund Freud (1956-1939)
Teori psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku criminal dengan suatu “conscience” yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan si individu, dan bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera. Sigmund freud, penemu sari Psychoanaliysis, berpendapat bahwa kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan perasaan bersalah yang berlebih. Freud menyebutkan bahwa mereka yang mengalami perasaan bersalah yang tak tertahankan akan melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap dan dihukum. Begitu mereka dihukum maka perasaan bersalah mereka akan mereda.

Seseorang melakukan perilaku terlarang karena hati nurani, atau super egonya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga egonya tidak mampu megontrol dorongan-dorongan dari id. Kerena super egonya intinya merupakan suatu citra orang tua yang begitu mendalam, terbangun ketika si anak menerima sikap-sikap dan nilai-nilai moral orang tuanya, maka selanjutnya apabila ada ketiadaan citra seperti itu mungkin akan melahirkan id yang tidak terkendali dan berikutnya delequency.

Pendekatan psychoanalytic masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik fungsi normal maupun asosial. Meski dikritik, tiga prinsip dasarnya yaitu :
1. tindakan dan tingakah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada perkembangan masa anak-anak mereka
2. tingkah laku dan motif-motif bawah sadar adalah jalin-menjalin dan interaksi itu mesti diuraikan bila kita ingin mengerti kejahtan
3. kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis

c. Personality Traits/inherited Criminality
pencarian/penelitian personality traits (sifat kepribadian) telah dimulai dengan mencoba menjelaskan kecakapan mental secara biologis. Feeblemindedness (lemah pikiran), insanity (penyakit jiwa), stupidity (kebodohan), dan dull-wittednes (bodoh) dianggap diwariskan. Pandangan ini merupakan bagian dari usaha untuk menjelaskan kejahatan yang bersifat dasar di akhir abad ke 19, ia menjadi penjelasan yang begitu popular di Amerika Serikat setelah The Jukes diterbitkan. Buku ini menggambarkan sebuah keluarga telah terlibat dalam kejahatan karena mereka menderita karena “degeneracy and innate depravity” (kemerosotan dan keburukan bawaan).

Menurut Dugdale, kriminalitas merupakan sifat bawaan yang diwariskan melalui gen-gen. dalam bukunya dugdale (dan penganut teori lain) menelusuri riwayat/sejarah keluarga melalui beberpa generasi. Deugdale sendiri mempelajari kehidupan lebih dari seribu anggota satu keluarga yang disebutnya jukes. Ketertarikannya pada keluarga itu dimulai pada saat dia menemukan enam orang yang saling berhubungan/berkaitan di satu penjara di new york. Mengikuti satu cabang keluraga itu, keturunan dari ada jukes, yang dia sebut sebagi “mother of criminals”, dugdale mendapati si antara seribuan anggota keluarga itu 280 orang fakir miskin, 60 orang pencuri, 7 orang pembunuh, 40 orang penjahat lain, 40 orang penderita penyakit kelamin, dan 50 orang pelacur.

d. Moral Development Theory
Psikolog Lawrence Kohlberg, pioneer dari teori perkembangan moral tumbuh dalam tiga tahap. Pertama, preconventional stage atau tahap pra-konvensional. Disini aturan moral dan nilai-nilai moral anak terdiri atas “lakukan” dan “jangan lakukan” untuk menghindari hukuman. Menurut teori ini, anak-anak di bawah umur 9 tahun hingga 11 tahun biasanya berpikir pada tingkatan pra-konvensional ini.

Remaja biasanya berfikir pada conventional law (tingkatan konvensional). Pada tingkatan ini seorang individu meyakini dan mnegadopsi nilai-nilai dan aturan masyarakat. Lebih jauh lagi, mereka berusaha menegakkan aturan itu. Mereka misalnya berpikir “mencuri itu tidak sah, sehingga saya tidak seharusnya mencuri dalam kondisi apapun”.

Akhirnya, pada postconventional level (tingkatan poskonvensional) individu-individu secara kritis menguji kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan sosial sesuai dengan perasaan mereka tentang hak asasi universal, prinsip-prinsip moral dan kewajiban-kewajiban. Mereka berpikir “orang semestinya mengikuti aturan hukum, namun prinsip-prinsip etika universal, seperti penghargaan pada hak-hak asasi manusia dan untuk martabat hidup manusia, menggantikan hukum tertulis bila keduanya beradu”. Tingkat pemikiran moral seperti ini umumnya bisa dilihat setelah usia 20 tahun.

Menurut Kohlberg dan kawan-kawannya, kebanyakan delinquent dan penjahat berpikir pada tingkatan pra-konvensional. Akan tetapi, perkembangan moral yang rendah atau tingkatan pra-konvensional saja tidak menyebabkan kejahatan. Faktor-faktor lainnya, seperti situasi atau tiadanya ikatan sosial yang penting, mungkin ambil bagian.

Psikolog jhon bowlby mempelajari kebutuhan akan kehangatan dan afeksi (kasih sayang) sejak lahir dan konsekuensi jika tidak mendapat hal itu. Dia mengajukan theory of attachment (teori kasih sayang) yang terdiri atas tujuh hal penting, yaitu :
1. specifity
2. duration
3. engagement of emotion
4. ontogeny
5. learning
6. organitation
7. biological function
Menurut Bowlby, orang sudah biasa menjadi penjahat umumnya memilikin ketidakmampuan membentuk ikatan kasih sayang.

Para kriminolog juga menguji pengaruh ketidak hadiran seorang ibu, baik karena kematian, perceraian atau karena ditinggalkan. Apakah ketidak hadiran tersebut menyebabkan delequency? Penelitian empiris masih samar/tidak jelas dalam soal ini. Namun satu study terhadap 201 orang yang dilakukan oleh Joan McCord menyimpulkan bahwa variable: kasih sayang serta pengawasan ibu yang kurang cukup, konflik orang tua, kurangnya percaya diri sang ibu, kekerasan ayah secara signifikan mempunyai hubungan dengan dilakukannya kejahatan tehadap orang tua dan/atau harta kekayaan. Ketidak hadiran sang ayah tidak dengan sendirinya berkorelasi dengan tingkah laku criminal.

e. Pandangan Para Ahli
Kriminolog asal UI, Adrianus Meliala dan Erlangga Masdiana (2003). Adrianus menyebut mutilasi sebagai kejahatan dengan memotong-motong tubuh korban. Itu dilakukan untuk menghilangkan jejak dari tindak kejahatan tersebut.
Persoalan yang lebih substansial bukan mengapa orang melakukan mutilasi. Namun yang memprihatinkan adalah sikap masyarakat yang memandang kasus mutilasi sebagai kejahatan biasa. Sikap masyarakat seperti itu justru luar biasa.
Erlangga Masdiana melihat peningkatan tindak multilasi berkorelasi dengan kondisi masyarakat yang sakit akibat dari tekanan ekonomi dan sosial. Hal itu menyebabkan masyarakat mengalami stres ekonomi atau stres sosial.
Kondisi masyarakat kita sedang sakit. Sesuai dengan hasil survei Jaringan Epidemologi Psikiatri Indonesia (1995), 185 dari 1.000 penduduk Indonesia menunjukkan gejala gangguan (sakit) jiwa.
Dalam kasus mutilasi di Purwokerto, Ruslan Abdul Gani, pelaku mutilasi, tak cuma memotong-motong tubuh Herry Best. Dia juga meminum darahnya. Perbuatan itu hanya bisa dilakukan oleh penderita stres berat atau sakit jiwa. Karena itu polisi masih perlu memeriksa kondisi kejiwaan tersangka Gani.
Psikolog Kartini Kartono dalam buku Patologi Sosial (2003) menyebut dua jenis ekspresi penyimpangan perilaku berdasar teori penyakit jiwa. Pertama, psikopat yaitu bentuk kekalutan mental yang ditandai ketiadaan pengorganisasian diri dan pengintegrasian pribadi.
Ciri khas yang melekat adalah ganas dan buas tanpa sebab jelas serta bertindak kriminal. Kedua, defect, yakni individu yang jahat, antisosial, tak memahami dan mengendalikan tingkah laku yang salah, dan jahat.
Pakar kriminologi dari Undip, Dr IS Susanto SH, dalam bukunya Kriminologi (1995) menyatakan selain faktor ekonomi, kelompok atau keluarga merupakan salah satu faktor penyebab kejahatan. Umumnya manusia belajar berperilaku dari keluarga. Barbara Wootton menguji beberapa faktor yang berkait dengan keluarga yang disebutnya twelve criminological hypotheses seperti jumlah keluarga, kedudukan anak, broken home dalam hubungannya dengan kejahatan.
Struktur keluarga Soni dengan tiga anak lelaki yang menjadi tersangka mutilasi sehari-hari hidup dalam suasana keras di terminal. Hal itu, ditambah kekecewaan akibat harta mereka musnah dalam kerusuhan di Ambon, menyebabkan tekanan ekonomi sangat hebat. Menyadari atau tidak mereka menderita sakit jiwa. Bahkan Gani pernah dirawat di bangsal penyakit jiwa RSUD Banyumas. Maka reaksi mereka kepada Herry Best pun sangat keras, ketika sang ayah dipukul sampai jatuh karena menolak memberikan uang kepada Herry.
Bagi Herry, peristiwa itu juga merupakan langkah akhir perjalanan mengarungi dunia yang keras. Adapun sikap Gani yang memutilasi korban mewakili masyarakat Indonesia yang sakit. Bahkan mungkin mewakili wajah kita.
Abrahamsen, seorang pakar psikologi kriminal membagi pembunuhan itu menjadi dua jenis, yaitu:
1. symptomatic murder, dan
2. manifest murder.
Symptomatic murder ialah seseorang melakukan pembunuhan karena terjadinya konflik jiwa, inner conflict, yaitu suatu konflik yang disebabkan oleh kebencian terhadap orang lain. Kebencian itu telah mengendap di dalam alam tak sadar sejak zaman kanak-kanak dan menjelma setelah dewasa dalam bentuk keinginan membalas dendam. Pembunuhan dapat dilakukan karena terjadinya gangguan-gangguan dorongan seksual atau disebabkan dorongan sikap agresif. Menurut Abrahamsen, motif pembunuhan dalam tipe ini biasanya karena memiliki kecemburuan kuat yang merupakan pendorong untuk melakukan pembunuhan. Penelitian psikologis menunjukkan bahwa seorang pemuda yang sedang cemburu hebat, dapat melakukan pembunuhan terhadap pacarnya karena menyeleweng. Penyelewengan ini dianggap telah melukai kebanggaan pemuda terhadap pacarnya dan rasa kebanggaan itu hendak dihapus dengan melakukan pembunuhan. Hal itu juga banyak terjadi pada kasus-kasus berlatar belakang oedipus complex. Masalah ini merupakan wilayah kajian teori psikoanalis dari Sigmund Frued, dengan konsep libido di dalamnya.
Manifest murder adalah pembunuh yang melakukan pembunuhan sebagai tindakan perlawanan terhadap masyarakat, Pembunuhan ini disebut juga dengan essential murder. Type manifest murder itu digolongkan atas dua jenis, yaitu profit murder dan murder with unrecognized motivations.
Apa yang dimaksud dengan profit murder adalah sama halnya seperti professional criminal dimana kejahatan yang dilakukan merupakan suatu mata pencaharaian. Selain dari mereka yang memperolah keuntungan atau memperolah penghasilan dari kejahatan itu, maka biasanya pembunuhan dalam profit murder bukanlah merupakan tujuan utama. Profit murder lebih menunjukan pengelompokann dari orang-orang yang anti sosial, pembentukan gang-gang atau pelaksanaan kejahatan secara berorganisasi.
Yang termasuk dalam golongan murder with unrecognized motivation adalah pembunuhan yang motifnya tidak mudah dilihat atau yang pembunuhnya dilingkungi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks sehingga sulit untuk ditentukan sebagai motif pembunuhan

II.3 Dampak Terjadinya Kejahatan Mutilasi Terhadap
Masyarakat
Dengan semakin maraknya tindak kejahatan mutilasi, timbul berbagai reaksi dari masyarakat, baik itu yang memandang positif ataupun negatif bahkan ada suatu respon dari masyarakat yang memandang bahwa tindak kejahatan mutilasi adalah suatu tindak kejahatan yang biasa saja. Kejahatan mutilasi yang semakin marak terjadi belakangan ini, Tidak hanya timbul dari dorongan kejiwaan si pelaku sendiri, tetapi juga kerap timbul dari dorongan luar seperti ingin lari dari tanggung jawab. Salah satu contohnya adalah kasus mutilasi di Brebes, dimana pelaku dari mutulasi tersebut adalah pacar korban sendiri dan diketahui bahwa korban telah hamil 4 bulan.

Fenomena mutilasi ini sendiri cukup memberikan shock terapy yang sangat mengejutkan pada awal terjadinya, karena sebuah perbuatan yang sangat tidak manusiawi dan abnormal bisa terjadi, selain itu faktor ekonomi juga kerap dipandang sebagai salah satu pemicu terjadinya kejahatan mutilasi.

Bila diperhatikan kejahatan mutilasi akhir-akhir ini juga tersebar luas di media masa. Padahal jika dianalisis berdasarkan psikologi masyarakat, masyarakat itu lebih cenderung mempunyai sifat imitasi (meniru). Peniruan atau imitasi seperti ini merujuk pula pada teori imitasi oleh sosiolog asal Perancis, Gabriel Tarde (1843-1904). ”Society is imitation. Masyarakat selalu dalam proses meniru. Ketika orang tiap hari dicekoki nilai-nilai keras, kasar, masyarakat pada akhirnya meniru. Oleh karena itu, hal ini mempunyai dampak yang negatif mengingat Media massa yang menampilkan kejahatan mutilasi cenderung kian menginspirasi orang dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas cenderung meniru praktik kejahatan lainnya melalui media massa. Indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus-kasus kriminalitas. Ini membuktikan bahwa media massa menjadi alat pembelajaran bagi pelaku dalam mengemas perbuatan kriminal. Dampak mekanisme peniruan atau imitasi ini dapat terjadi baik secara langsung (direct effect) maupun tertunda (delayed effect).

Dampak dari kejahatan mutilasi lainnya yaitu terjadinya ketegangan di dalam masyarakat. Ketegangan ini terjadi dikarenakan munculnya rasa tidak aman terhadap lingkungan pasca terjadinya suatu kejahatan mutilasi. Ketegangan yang dikarenakan rasa tidak aman ini menyebabkan krisis kepercayaan terhadap orang lain dengan kata lain seseorang akan selalu merasa curiga terhadap orang disekitarnya,di karenakan rasa ketakutan akan hal yang sama terjadi pada dirinya.sikap paranoid ini akan berdampak buruk terhadap social masyarakat dan justru akan saling apatis dan tertutup.

II.4. Pencegahan Kejahatan Mutilasi

Secara nyata manusia tidak mundur dari kejahatan, walaupun mereka menginsafi atau mengetahui atau untuk perlakuan itu akan dihukum. jadi sebenarnya sangatlah sulit untuk menghentikan suatu kejahatan, termasuk juga dengan mutilasi. Sebab, dimana ada masyarakat maka disitulah akan timbul suatu kejahatan, dan tidak menutup kemungkinan juga kejahatan mutilasi. Namun setidaknya kejahatan seperti mutilasi ini dapat diminimalisir dengan cara pencegahan-pencegahan tertentu.
Sehubungan dengan problematik pencegahan kejahatan termasuk juga dengan pencegahan kejahatan mutilasi ada beberapa pendapat-pendapat para ahli, antara lain:

a. Sutherland dan Cressey
Mereka berpendapat bahwa pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan cara:
1. Merubah yang mungkin dapat dirubah dengan menggunakan teknik tertentu.
2. mengasingkan mereka yang tak dapat di perbaiki.
3. koreksi atau pengasingan terhadap mereka itu yang terbukti gemar melakukan kejahatan.
4. menghapuskan atau membatasi kondisi masyarakat yang bersifat mendorong kearah kejahatan.
Kaitannya dengan pencegahan kejahatan mutilasi sebenarnya tidak jauh berbeda. Dari pendapat ahli diatas dapat dikemukakan bahwa untuk mencegah terjadinya suatu mutilasi, maka diperlukan suatu deteksi dini terhadap orang-orang yang mempunyai suatu kebiasaan yang aneh. Selain itu pembatasan kondisi terhadap masyarakat terhadap hal-hal yang dapat berakibat terjadinya suatu pembunuhan mutilasi juga harus dilakukan.

Mengenai sistem penghukuman walaupun diakui sebagai alat yang penting untuk preventif suatu kejahatan, namun dapat dikatakan bahwa hukuman bukanlah faktor utama yang mampu untuk mencegah suatu kejahatan, termasuk juga kejahatan mutilasi. Hal ini terbukti, meskipun telah banyak tersangka pelaku mutilasi yang dihukum bahkan di pidana mati, ternyata presentase kejahatan mutilasi tetap saja meningkat dari tahun ke tahun.
Mengembangkan tingkah laku melalui pendidikan, memperluas atau memperdalam tradisi, mengadakan kontak atau saling pengertian antara manusia yang mengutamakan penilaian norma-norma adalah cara yang baik untuk prevensi, dengan kata lain filterisasi diri adalah faktor utama dalam usaha preventif kejahatan mutilasi.

b. Ruth S.Cavan
untuk menghadapi masalah Crime Preventation,Cavan menganggap ketentuan-ketentuan berikut ini sebagai faktor yang perlu diperhatikan:
1. Perlu diingat bahwa menghadapi the casual offender adalah berbeda dengan occasional criminal, lain pula dengan episodic, habitual dan sebagainya. Keliru bila menciptakan suatu ketentuan umum bila menghadapi penjahat dalam tipe-tipe yang berbeda-beda itu.
2. Criminal behavior telah di mulai sejak remaja. Fakta ini dapat dibuktikan terhadap mereka yang terlibat dalam professional crime yang kejahatannya telah dikembangkan sejak zaman remaja. Hal ini tentulah kurang dimengerti oleh kaum awam tetapi mudah dipahami oleh kaum psychiatrist terutama yang menyangkut emotional dan psychotic criminal. Oleh karena itu maka pencegahan harus dimulai dari anak-anak remaja dan remaja.
3. Untuk mencapai hasil yang bermanfaat, maka pencegahan harus diarahkan pada gejala-gejala kejahatan, tetapi harus ditujukan pada penyebab yang tersembunyi dibalik perbuatan. Sebagai contohnya, ada tempat-tempat yang dapat dijadikan sebagai faktor-faktor yang melatar belakangi kejahatan.
Beberapa jenis tertentu dari gangguan emosionil dapat membimbing ke arah perbuatan-perbuatan mendadak yang bersifat kekerasan, bahkan sampai dengan pembunuhan yang diikuti dengan tindakan lanjutan seperti memutilasi korban.
Maka menurut Cavan, usaha-usaha prevensi itu, memerlukan pengarahan seperti:
1. Community reorganization. Yaitu mengikutsertakan segenap lapisan masyarakat untuk ambil bagian dalam usaha prevensi. Lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah umum misalnya tidak saja mengutamakan formal curriculum tetapi perlu diarahkan pula pada character training, personality study dan sebagainya. Tugas polisi juga tidak saja menangkap dan menahan, tetapi juga ikut menjadi pembimbing dalam penanaman moral untuk usaha preventif kejahatan terutama kejahatan berat seperti pembunuhan disertai mutilasi.
2. Family reorganization. Ini adalah usaha pencegahan kejahatan yang di mulai dari lingkungan terdekat dengan diri kita, yaitu lingkungan keluarga. Cavan mengatakan bahwa Broken home sangat banyak mendorong perwujudan kejahatan dan oleh karena itu kebutuhan kasih sayang dalam keluarga disertai dengan penanaman moral sangatlah penting perananya dalam proses pencegahan kejahatan mutilasi.
3. Gangguan emosisonal dan mental. Banyak kasus kejahatan yang berawal tekanan-tekanan emosional serta konflik-konflik yang mengarah pada perbuatan criminal.
Kesimpulan dari pendapat Cavan adalah lebih mengutamakan seluruh anggota masyarakat untuk bertanggungjawab dalam preventif kejahatan. Hal Ini juga sangat tepat bila diterapkan dalam usaha pencegahan terhadap kejahatan mutilasi.

C. Walter C Reckless
menurut pendapat Walter,masalah pokok yang ada adalah usaha untuk mengembangkan kesadaran hukum, karena masalah hukum adalah sebuah unsur utama yang menyokong pencegahan kejahatan.
Walter juga menyatakan bahwa penanaman moral yang kokoh dapat memperkuat emosi dalam diri.Pendapat Walter ini sangatlah efektif bila digunakan dalam usaha pencegahan kejahatan mutilasi.





























BAB III
PENUTUP

Dari hasil pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:

1. Mutilasi adalah aksi yang menyebabkan suatu atau beberapa bagian tubuh (manusia) tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, yang termasuk mutilasi misalnya amputasi, pembakaran, atau flagelasi. Dalam beberapa kasus, mutilasi juga dapat berate memotong-motong tubuh mayat manusia.
2. Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan mutilasi berdasarkan teori psikologi criminal meliputi :
- Personality Characterictic (sifat-sifat kepribadian)
- Teori Psikoanalisa
- Personality Traits
- Moral Developtment Theory
- Pandangan para ahli
3. Dampak terjadinya kejahatan mutilasi terhadap masyarakat :
- Berdasarkan psikologi masyarakat, masyarakat itu lebih cenderung mempunyai sifat imitasi. Jadi kejahatan mutilasi yang tersebar di media massa akan berdampak pada terjadinya hal yang serupa pada masa yang akan dating dikarenakan proses imitasi dari masyarakat.
- Terjadinya krisis kepercayaan terhadap orang lain dalam masyarakat dikarenakan ketakutan yang amat sangat.
4. Pencegahan kejahatan mutilasi dapat bersumber dari beberapa pendapat para ahli yaitu:
- Sutherland dan Cressiy, untuk mencegah terjadinya mutilasi diperlukan suati deteksi diri terhadap orang-orang yang mempunyai suatu kebiasaan yang berbeda. Mengembangkan tingkahlaku melalui pendidikan, memperkuat atau memperdalam tradisi, mengadakan kontrak atausaling pengertian antara manusia yang mengtamakan penilaian norma-norma adalah cara yang baik untuk preventif kejahatan mutilasi.
- Ruth.S.Cavan, menurutnya untuk mencegah terjadinya mutilasi yang diperlukan adalah lebih mengutamakan seluruh anggota masyarakat untuk bertanggung jawab dalam preventif kejahatan. Hal Ini juga sangat tepat bila diterapkan dalam usaha pencegahan terhadap kejahatan mutilasi.
- Walter.C.Reckless, menurutnya untuk pencegahan mutilasi diperlukan kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat dan penanaman moral yang kuat dapat memperkuat emosi dalam diri.










DAFTAR PUSTAKA

Simandjuntak, B. 1981. Pengantar Krimonologi dan
Patologi Sosial. Tarsito. Jakarta.

Soekanto, Soerjono,dkk. 1981. Kriminologi Suatu
Pengantar. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Bawengan, G.W. 1977. Pengantar Psychologi Kriminal.
Pradnya Paramita. Jakarta.