Sunday 11 January 2009

TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN MUTILASI BERDASARKAN TOERI PSIKOLOGI KRIMINAL

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasranya telah terjadi selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, banyak suku-suku di dunia yang telah melakukan budaya mutilasi diamana perbuatan tersebut merupakan suatu identitas mereka terhadap dunia, seperti suku aborigin, suku-suku brazil, amerika, meksiko, peru dan suku conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum perempuan dimana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan mereka, yang sering disebut dengan Female Genital Mutilation (FGM). FGM merupakan prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan yang paling sensitif.

Pada kenyataannya, belakangan ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai estetika dan nilai filosofis, tetapi Mutilasi sudah termasuk kedalam suatu modus operandi kejahatan dimana para pelaku kejahatan menggunakan metode ini dengan tujuan untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit untuk dicari petunjuk mengenai identitas korban, serta meghilangkan jejak dari para korban seperti memotong bagian-bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian, seperti kepala, tubuh dan bagian-bagian lain tubuh, yang kemudian bagian-bagian tubuh tersebut dibuang secara terpisah.

Maraknya metode Mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor, baik itu karena kondisi psikis dari seseorang dimana terjadi ganguan terhadap kejiwaan dari seseorang sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat digologkan sebagai tindakan yang tidak manusiawi tersebut, karena faktor dari sosial, karena faktor ekonomi, atau karena keadaan rumah tangga dari pelaku.

I.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. pengertian mutilasi
2. faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan Mutilasi berdasarkan teori psikologi criminal
3. dampak kejahatan mutilasi bagi masyarakat
4. pencegahan kejahatan mutilasi


BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Pengertian

a. Mutilasi
Mutilasi adalah aksi yang menyebabkan suatu atau beberapa bagian tubuh (manusia) tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, yang termasuk mutilasi misalnya amputasi, pembakaran, atau flagelasi. Dalam beberapa kasus, mutilasi juga dapat berate memotong-motong tubuh mayat manusia.
Beberapa kebudayaan mengizinkan dilakukannya mutilasi. Misalnya di cina, ada budaya mengikat kaki seorang anak perempuan. Ikatan tersebut tidak boleh dilepaskan hingga ia tua, dengan demikian kakinya akan tetap kecil. Kaki kecil di cina melambangkan kecantikan. Dalam kebudayaan Islam, mutilasi diberlakukan bagi mereka yang terbukti mencuri, biasanya berupa amputasi.

b. Kejahatan
kejahatAn adalah rechtdelict, artinya perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Pertentangan ini terlepas dari perbuatan itu diancam pidana dalam suatu perunadang-undangan atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan masyarakat sebagai pertentangan dengan keadilan.

c. Kejahatan Mutilasi
Kejahatan mutilasi adalah jenis kejahatan yang tergolong sadis, dimana pelaku kejahatan tersebut tidak hanya membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain melainkan juga memotong-motong setiap bagian tubuh korbannya. Menurut beberapa ahli kejahatan pidana, biasanya kejahatan ini terjadi tergantung pada keadaan psikis si pelaku, dimana si pelaku cenderung mengalami gangguan kejiwaan, pada pendapat lain ahli berpendapat bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan susulan dari sebuah kejahatan pembunuhan yang dimaksudkan untuk menutupi kejahatan pembunuhan tersebut sehingga korban tidak diketahui keberadaannya ataupun jika diketahui maka akan mengelabui penyidik dalam mengungkap identitasnya.

Namun, terlepas dari semua hal tersebut kejahatan mutilasi ini kerap sekali terjadi dilakukan oleh orang-orang yang mengalami depresi dan gangguan kejiwaan, bahwa dengan tidak memotong-motong tubuh korbannya, pelaku seringkali tidak puas untuk menyelesaikan kejahatannya.

Dalam kurun waktu tiga minggu pertama pada bulan januari tahun 2008, telah terjadi 7 (tujuh) kasus mutilasi di Jakarta utara. Salah satunya terjadi di hotel kelas melati didaerah Koja Jakarta Utara, dimana sesosok mayat tergeletak di lantai kamar hotelnya dalam keadaan bugil, tragisnya di TKP pada mayat wanita tersebut ditemukan dengan tanpa kepala, alias badan dan kepala korban pisah, hanya badan saja yang ada di sana, diperkirakan korban berusia 24 tahun.

Polisi berusaha menemukan segala petunjuk di TKP tersebut, dalam kejahatan mutilasi ini ahli forensik sangat berperan besar dalam mengungkap identitas si korban, mulai dari penelusuran dari tanda-tanda lahir yang ada di tubuh si korban sampai pada tanda khusus yang tertera di tubuh korban tersebut (seperti tato, dll). Dalam penanganan kejahatan mutilasi ini, ahli forensik memiliki kesulitan tersendiri dibandingkan dengan kejahtan pembunuhan biasa, otopsi dilakukan dengan prosedur khusus bahwa tubuh korban yang akan di otopsi tidaklah lengkap dan utuh seperti yang terjadi pada pembunuhan biasa.

Peristiwa mutilasi, makin banyak dan makin mengkhawatirkan saja. Dalam stu tahun terakhir saja, dihitung sejak tahun 2007, sedikitnya telah terjadi empat belas (14) kali kasus mutilasi. Tentu saja yang terjadi di tahun 2008 ini pantas membuat kita kaget. Karena dari 14 (empat belas) kasus itu, tujuh diantaranya terjadi di bulan januari, hanya dalam tempo 24 hari terakhir.

Kalangan ahli tidak seragam dalam melihat perilaku mutilasi, karena motif dan karakter perilaku pelakunya memang beragam. Tapi banyak yang melihat tindakan ini termasuk kelainan, perilaku psikopat. Pelaku mutilasi adalah orang-orang yang tidak memiliki suara hati dan cenderung mengalami gangguan jiwa.

Mmelihat kasus-kasus mutilasi yang terjadi, ada dua hal yang bisa kita ketahui. Pertama, motivnya kebanyakan terkait dengan perilaku seksual, dan kedua, kasusnya relative sulit diungkap, bahkan sebagian besar tidak berhasil diungkap oleh polisi.

Apapun alasannya yang dikembangkan mengenai kejahatan mutilasi, seharusnya pelaku kejahatan ini dijerat dengan hukuman mati layaknya apa yang diatur dalam pasal 340 KUHP (tentang pembunuhan berencana). Aparat penegak hukum diharapkan dapat menafsirkan dan mempersamakan kejahatan ini dengan kejahatan pembunuhan berencana walaupun dalam melakukannya setelah korban mati terlebih dahulu. Mengingat bahwa pengaturan dan batasan pengertian tentang kejahatan ini tidak dijelaskan secara spesifik dan tegas di dalam undang-undang hukum pidana Indonesia.

II.2 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Mutilasi Berdasarkan Teori Psikologi Criminal

a.Personality Characteristic (sifat-sifat kepribadian)
Empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan antara kepribadian dengan kejahatan.
- Pertama, melihat pada perbedaan-perbedaan antara struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat;
- Kedua, memprediksi tingkah laku;
- Ketiga menguji tingkatan di mana dinamika-dinamika kepribadian normal beroperasi dalam diri penjahat; dan
- Keempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.
Berdasarkan teori ini kemungkinan untuk dilakukannya sebuah kejahatan mutilasi yaitu dapat terjadi karena sifat-sifat kepribadian dari seseorang.

b. Teori Psikoanalisa, Sigmund Freud (1956-1939)
Teori psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku criminal dengan suatu “conscience” yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan si individu, dan bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera. Sigmund freud, penemu sari Psychoanaliysis, berpendapat bahwa kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan perasaan bersalah yang berlebih. Freud menyebutkan bahwa mereka yang mengalami perasaan bersalah yang tak tertahankan akan melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap dan dihukum. Begitu mereka dihukum maka perasaan bersalah mereka akan mereda.

Seseorang melakukan perilaku terlarang karena hati nurani, atau super egonya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga egonya tidak mampu megontrol dorongan-dorongan dari id. Kerena super egonya intinya merupakan suatu citra orang tua yang begitu mendalam, terbangun ketika si anak menerima sikap-sikap dan nilai-nilai moral orang tuanya, maka selanjutnya apabila ada ketiadaan citra seperti itu mungkin akan melahirkan id yang tidak terkendali dan berikutnya delequency.

Pendekatan psychoanalytic masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik fungsi normal maupun asosial. Meski dikritik, tiga prinsip dasarnya yaitu :
1. tindakan dan tingakah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada perkembangan masa anak-anak mereka
2. tingkah laku dan motif-motif bawah sadar adalah jalin-menjalin dan interaksi itu mesti diuraikan bila kita ingin mengerti kejahtan
3. kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis

c. Personality Traits/inherited Criminality
pencarian/penelitian personality traits (sifat kepribadian) telah dimulai dengan mencoba menjelaskan kecakapan mental secara biologis. Feeblemindedness (lemah pikiran), insanity (penyakit jiwa), stupidity (kebodohan), dan dull-wittednes (bodoh) dianggap diwariskan. Pandangan ini merupakan bagian dari usaha untuk menjelaskan kejahatan yang bersifat dasar di akhir abad ke 19, ia menjadi penjelasan yang begitu popular di Amerika Serikat setelah The Jukes diterbitkan. Buku ini menggambarkan sebuah keluarga telah terlibat dalam kejahatan karena mereka menderita karena “degeneracy and innate depravity” (kemerosotan dan keburukan bawaan).

Menurut Dugdale, kriminalitas merupakan sifat bawaan yang diwariskan melalui gen-gen. dalam bukunya dugdale (dan penganut teori lain) menelusuri riwayat/sejarah keluarga melalui beberpa generasi. Deugdale sendiri mempelajari kehidupan lebih dari seribu anggota satu keluarga yang disebutnya jukes. Ketertarikannya pada keluarga itu dimulai pada saat dia menemukan enam orang yang saling berhubungan/berkaitan di satu penjara di new york. Mengikuti satu cabang keluraga itu, keturunan dari ada jukes, yang dia sebut sebagi “mother of criminals”, dugdale mendapati si antara seribuan anggota keluarga itu 280 orang fakir miskin, 60 orang pencuri, 7 orang pembunuh, 40 orang penjahat lain, 40 orang penderita penyakit kelamin, dan 50 orang pelacur.

d. Moral Development Theory
Psikolog Lawrence Kohlberg, pioneer dari teori perkembangan moral tumbuh dalam tiga tahap. Pertama, preconventional stage atau tahap pra-konvensional. Disini aturan moral dan nilai-nilai moral anak terdiri atas “lakukan” dan “jangan lakukan” untuk menghindari hukuman. Menurut teori ini, anak-anak di bawah umur 9 tahun hingga 11 tahun biasanya berpikir pada tingkatan pra-konvensional ini.

Remaja biasanya berfikir pada conventional law (tingkatan konvensional). Pada tingkatan ini seorang individu meyakini dan mnegadopsi nilai-nilai dan aturan masyarakat. Lebih jauh lagi, mereka berusaha menegakkan aturan itu. Mereka misalnya berpikir “mencuri itu tidak sah, sehingga saya tidak seharusnya mencuri dalam kondisi apapun”.

Akhirnya, pada postconventional level (tingkatan poskonvensional) individu-individu secara kritis menguji kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan sosial sesuai dengan perasaan mereka tentang hak asasi universal, prinsip-prinsip moral dan kewajiban-kewajiban. Mereka berpikir “orang semestinya mengikuti aturan hukum, namun prinsip-prinsip etika universal, seperti penghargaan pada hak-hak asasi manusia dan untuk martabat hidup manusia, menggantikan hukum tertulis bila keduanya beradu”. Tingkat pemikiran moral seperti ini umumnya bisa dilihat setelah usia 20 tahun.

Menurut Kohlberg dan kawan-kawannya, kebanyakan delinquent dan penjahat berpikir pada tingkatan pra-konvensional. Akan tetapi, perkembangan moral yang rendah atau tingkatan pra-konvensional saja tidak menyebabkan kejahatan. Faktor-faktor lainnya, seperti situasi atau tiadanya ikatan sosial yang penting, mungkin ambil bagian.

Psikolog jhon bowlby mempelajari kebutuhan akan kehangatan dan afeksi (kasih sayang) sejak lahir dan konsekuensi jika tidak mendapat hal itu. Dia mengajukan theory of attachment (teori kasih sayang) yang terdiri atas tujuh hal penting, yaitu :
1. specifity
2. duration
3. engagement of emotion
4. ontogeny
5. learning
6. organitation
7. biological function
Menurut Bowlby, orang sudah biasa menjadi penjahat umumnya memilikin ketidakmampuan membentuk ikatan kasih sayang.

Para kriminolog juga menguji pengaruh ketidak hadiran seorang ibu, baik karena kematian, perceraian atau karena ditinggalkan. Apakah ketidak hadiran tersebut menyebabkan delequency? Penelitian empiris masih samar/tidak jelas dalam soal ini. Namun satu study terhadap 201 orang yang dilakukan oleh Joan McCord menyimpulkan bahwa variable: kasih sayang serta pengawasan ibu yang kurang cukup, konflik orang tua, kurangnya percaya diri sang ibu, kekerasan ayah secara signifikan mempunyai hubungan dengan dilakukannya kejahatan tehadap orang tua dan/atau harta kekayaan. Ketidak hadiran sang ayah tidak dengan sendirinya berkorelasi dengan tingkah laku criminal.

e. Pandangan Para Ahli
Kriminolog asal UI, Adrianus Meliala dan Erlangga Masdiana (2003). Adrianus menyebut mutilasi sebagai kejahatan dengan memotong-motong tubuh korban. Itu dilakukan untuk menghilangkan jejak dari tindak kejahatan tersebut.
Persoalan yang lebih substansial bukan mengapa orang melakukan mutilasi. Namun yang memprihatinkan adalah sikap masyarakat yang memandang kasus mutilasi sebagai kejahatan biasa. Sikap masyarakat seperti itu justru luar biasa.
Erlangga Masdiana melihat peningkatan tindak multilasi berkorelasi dengan kondisi masyarakat yang sakit akibat dari tekanan ekonomi dan sosial. Hal itu menyebabkan masyarakat mengalami stres ekonomi atau stres sosial.
Kondisi masyarakat kita sedang sakit. Sesuai dengan hasil survei Jaringan Epidemologi Psikiatri Indonesia (1995), 185 dari 1.000 penduduk Indonesia menunjukkan gejala gangguan (sakit) jiwa.
Dalam kasus mutilasi di Purwokerto, Ruslan Abdul Gani, pelaku mutilasi, tak cuma memotong-motong tubuh Herry Best. Dia juga meminum darahnya. Perbuatan itu hanya bisa dilakukan oleh penderita stres berat atau sakit jiwa. Karena itu polisi masih perlu memeriksa kondisi kejiwaan tersangka Gani.
Psikolog Kartini Kartono dalam buku Patologi Sosial (2003) menyebut dua jenis ekspresi penyimpangan perilaku berdasar teori penyakit jiwa. Pertama, psikopat yaitu bentuk kekalutan mental yang ditandai ketiadaan pengorganisasian diri dan pengintegrasian pribadi.
Ciri khas yang melekat adalah ganas dan buas tanpa sebab jelas serta bertindak kriminal. Kedua, defect, yakni individu yang jahat, antisosial, tak memahami dan mengendalikan tingkah laku yang salah, dan jahat.
Pakar kriminologi dari Undip, Dr IS Susanto SH, dalam bukunya Kriminologi (1995) menyatakan selain faktor ekonomi, kelompok atau keluarga merupakan salah satu faktor penyebab kejahatan. Umumnya manusia belajar berperilaku dari keluarga. Barbara Wootton menguji beberapa faktor yang berkait dengan keluarga yang disebutnya twelve criminological hypotheses seperti jumlah keluarga, kedudukan anak, broken home dalam hubungannya dengan kejahatan.
Struktur keluarga Soni dengan tiga anak lelaki yang menjadi tersangka mutilasi sehari-hari hidup dalam suasana keras di terminal. Hal itu, ditambah kekecewaan akibat harta mereka musnah dalam kerusuhan di Ambon, menyebabkan tekanan ekonomi sangat hebat. Menyadari atau tidak mereka menderita sakit jiwa. Bahkan Gani pernah dirawat di bangsal penyakit jiwa RSUD Banyumas. Maka reaksi mereka kepada Herry Best pun sangat keras, ketika sang ayah dipukul sampai jatuh karena menolak memberikan uang kepada Herry.
Bagi Herry, peristiwa itu juga merupakan langkah akhir perjalanan mengarungi dunia yang keras. Adapun sikap Gani yang memutilasi korban mewakili masyarakat Indonesia yang sakit. Bahkan mungkin mewakili wajah kita.
Abrahamsen, seorang pakar psikologi kriminal membagi pembunuhan itu menjadi dua jenis, yaitu:
1. symptomatic murder, dan
2. manifest murder.
Symptomatic murder ialah seseorang melakukan pembunuhan karena terjadinya konflik jiwa, inner conflict, yaitu suatu konflik yang disebabkan oleh kebencian terhadap orang lain. Kebencian itu telah mengendap di dalam alam tak sadar sejak zaman kanak-kanak dan menjelma setelah dewasa dalam bentuk keinginan membalas dendam. Pembunuhan dapat dilakukan karena terjadinya gangguan-gangguan dorongan seksual atau disebabkan dorongan sikap agresif. Menurut Abrahamsen, motif pembunuhan dalam tipe ini biasanya karena memiliki kecemburuan kuat yang merupakan pendorong untuk melakukan pembunuhan. Penelitian psikologis menunjukkan bahwa seorang pemuda yang sedang cemburu hebat, dapat melakukan pembunuhan terhadap pacarnya karena menyeleweng. Penyelewengan ini dianggap telah melukai kebanggaan pemuda terhadap pacarnya dan rasa kebanggaan itu hendak dihapus dengan melakukan pembunuhan. Hal itu juga banyak terjadi pada kasus-kasus berlatar belakang oedipus complex. Masalah ini merupakan wilayah kajian teori psikoanalis dari Sigmund Frued, dengan konsep libido di dalamnya.
Manifest murder adalah pembunuh yang melakukan pembunuhan sebagai tindakan perlawanan terhadap masyarakat, Pembunuhan ini disebut juga dengan essential murder. Type manifest murder itu digolongkan atas dua jenis, yaitu profit murder dan murder with unrecognized motivations.
Apa yang dimaksud dengan profit murder adalah sama halnya seperti professional criminal dimana kejahatan yang dilakukan merupakan suatu mata pencaharaian. Selain dari mereka yang memperolah keuntungan atau memperolah penghasilan dari kejahatan itu, maka biasanya pembunuhan dalam profit murder bukanlah merupakan tujuan utama. Profit murder lebih menunjukan pengelompokann dari orang-orang yang anti sosial, pembentukan gang-gang atau pelaksanaan kejahatan secara berorganisasi.
Yang termasuk dalam golongan murder with unrecognized motivation adalah pembunuhan yang motifnya tidak mudah dilihat atau yang pembunuhnya dilingkungi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks sehingga sulit untuk ditentukan sebagai motif pembunuhan

II.3 Dampak Terjadinya Kejahatan Mutilasi Terhadap
Masyarakat
Dengan semakin maraknya tindak kejahatan mutilasi, timbul berbagai reaksi dari masyarakat, baik itu yang memandang positif ataupun negatif bahkan ada suatu respon dari masyarakat yang memandang bahwa tindak kejahatan mutilasi adalah suatu tindak kejahatan yang biasa saja. Kejahatan mutilasi yang semakin marak terjadi belakangan ini, Tidak hanya timbul dari dorongan kejiwaan si pelaku sendiri, tetapi juga kerap timbul dari dorongan luar seperti ingin lari dari tanggung jawab. Salah satu contohnya adalah kasus mutilasi di Brebes, dimana pelaku dari mutulasi tersebut adalah pacar korban sendiri dan diketahui bahwa korban telah hamil 4 bulan.

Fenomena mutilasi ini sendiri cukup memberikan shock terapy yang sangat mengejutkan pada awal terjadinya, karena sebuah perbuatan yang sangat tidak manusiawi dan abnormal bisa terjadi, selain itu faktor ekonomi juga kerap dipandang sebagai salah satu pemicu terjadinya kejahatan mutilasi.

Bila diperhatikan kejahatan mutilasi akhir-akhir ini juga tersebar luas di media masa. Padahal jika dianalisis berdasarkan psikologi masyarakat, masyarakat itu lebih cenderung mempunyai sifat imitasi (meniru). Peniruan atau imitasi seperti ini merujuk pula pada teori imitasi oleh sosiolog asal Perancis, Gabriel Tarde (1843-1904). ”Society is imitation. Masyarakat selalu dalam proses meniru. Ketika orang tiap hari dicekoki nilai-nilai keras, kasar, masyarakat pada akhirnya meniru. Oleh karena itu, hal ini mempunyai dampak yang negatif mengingat Media massa yang menampilkan kejahatan mutilasi cenderung kian menginspirasi orang dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas cenderung meniru praktik kejahatan lainnya melalui media massa. Indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus-kasus kriminalitas. Ini membuktikan bahwa media massa menjadi alat pembelajaran bagi pelaku dalam mengemas perbuatan kriminal. Dampak mekanisme peniruan atau imitasi ini dapat terjadi baik secara langsung (direct effect) maupun tertunda (delayed effect).

Dampak dari kejahatan mutilasi lainnya yaitu terjadinya ketegangan di dalam masyarakat. Ketegangan ini terjadi dikarenakan munculnya rasa tidak aman terhadap lingkungan pasca terjadinya suatu kejahatan mutilasi. Ketegangan yang dikarenakan rasa tidak aman ini menyebabkan krisis kepercayaan terhadap orang lain dengan kata lain seseorang akan selalu merasa curiga terhadap orang disekitarnya,di karenakan rasa ketakutan akan hal yang sama terjadi pada dirinya.sikap paranoid ini akan berdampak buruk terhadap social masyarakat dan justru akan saling apatis dan tertutup.

II.4. Pencegahan Kejahatan Mutilasi

Secara nyata manusia tidak mundur dari kejahatan, walaupun mereka menginsafi atau mengetahui atau untuk perlakuan itu akan dihukum. jadi sebenarnya sangatlah sulit untuk menghentikan suatu kejahatan, termasuk juga dengan mutilasi. Sebab, dimana ada masyarakat maka disitulah akan timbul suatu kejahatan, dan tidak menutup kemungkinan juga kejahatan mutilasi. Namun setidaknya kejahatan seperti mutilasi ini dapat diminimalisir dengan cara pencegahan-pencegahan tertentu.
Sehubungan dengan problematik pencegahan kejahatan termasuk juga dengan pencegahan kejahatan mutilasi ada beberapa pendapat-pendapat para ahli, antara lain:

a. Sutherland dan Cressey
Mereka berpendapat bahwa pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan cara:
1. Merubah yang mungkin dapat dirubah dengan menggunakan teknik tertentu.
2. mengasingkan mereka yang tak dapat di perbaiki.
3. koreksi atau pengasingan terhadap mereka itu yang terbukti gemar melakukan kejahatan.
4. menghapuskan atau membatasi kondisi masyarakat yang bersifat mendorong kearah kejahatan.
Kaitannya dengan pencegahan kejahatan mutilasi sebenarnya tidak jauh berbeda. Dari pendapat ahli diatas dapat dikemukakan bahwa untuk mencegah terjadinya suatu mutilasi, maka diperlukan suatu deteksi dini terhadap orang-orang yang mempunyai suatu kebiasaan yang aneh. Selain itu pembatasan kondisi terhadap masyarakat terhadap hal-hal yang dapat berakibat terjadinya suatu pembunuhan mutilasi juga harus dilakukan.

Mengenai sistem penghukuman walaupun diakui sebagai alat yang penting untuk preventif suatu kejahatan, namun dapat dikatakan bahwa hukuman bukanlah faktor utama yang mampu untuk mencegah suatu kejahatan, termasuk juga kejahatan mutilasi. Hal ini terbukti, meskipun telah banyak tersangka pelaku mutilasi yang dihukum bahkan di pidana mati, ternyata presentase kejahatan mutilasi tetap saja meningkat dari tahun ke tahun.
Mengembangkan tingkah laku melalui pendidikan, memperluas atau memperdalam tradisi, mengadakan kontak atau saling pengertian antara manusia yang mengutamakan penilaian norma-norma adalah cara yang baik untuk prevensi, dengan kata lain filterisasi diri adalah faktor utama dalam usaha preventif kejahatan mutilasi.

b. Ruth S.Cavan
untuk menghadapi masalah Crime Preventation,Cavan menganggap ketentuan-ketentuan berikut ini sebagai faktor yang perlu diperhatikan:
1. Perlu diingat bahwa menghadapi the casual offender adalah berbeda dengan occasional criminal, lain pula dengan episodic, habitual dan sebagainya. Keliru bila menciptakan suatu ketentuan umum bila menghadapi penjahat dalam tipe-tipe yang berbeda-beda itu.
2. Criminal behavior telah di mulai sejak remaja. Fakta ini dapat dibuktikan terhadap mereka yang terlibat dalam professional crime yang kejahatannya telah dikembangkan sejak zaman remaja. Hal ini tentulah kurang dimengerti oleh kaum awam tetapi mudah dipahami oleh kaum psychiatrist terutama yang menyangkut emotional dan psychotic criminal. Oleh karena itu maka pencegahan harus dimulai dari anak-anak remaja dan remaja.
3. Untuk mencapai hasil yang bermanfaat, maka pencegahan harus diarahkan pada gejala-gejala kejahatan, tetapi harus ditujukan pada penyebab yang tersembunyi dibalik perbuatan. Sebagai contohnya, ada tempat-tempat yang dapat dijadikan sebagai faktor-faktor yang melatar belakangi kejahatan.
Beberapa jenis tertentu dari gangguan emosionil dapat membimbing ke arah perbuatan-perbuatan mendadak yang bersifat kekerasan, bahkan sampai dengan pembunuhan yang diikuti dengan tindakan lanjutan seperti memutilasi korban.
Maka menurut Cavan, usaha-usaha prevensi itu, memerlukan pengarahan seperti:
1. Community reorganization. Yaitu mengikutsertakan segenap lapisan masyarakat untuk ambil bagian dalam usaha prevensi. Lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah umum misalnya tidak saja mengutamakan formal curriculum tetapi perlu diarahkan pula pada character training, personality study dan sebagainya. Tugas polisi juga tidak saja menangkap dan menahan, tetapi juga ikut menjadi pembimbing dalam penanaman moral untuk usaha preventif kejahatan terutama kejahatan berat seperti pembunuhan disertai mutilasi.
2. Family reorganization. Ini adalah usaha pencegahan kejahatan yang di mulai dari lingkungan terdekat dengan diri kita, yaitu lingkungan keluarga. Cavan mengatakan bahwa Broken home sangat banyak mendorong perwujudan kejahatan dan oleh karena itu kebutuhan kasih sayang dalam keluarga disertai dengan penanaman moral sangatlah penting perananya dalam proses pencegahan kejahatan mutilasi.
3. Gangguan emosisonal dan mental. Banyak kasus kejahatan yang berawal tekanan-tekanan emosional serta konflik-konflik yang mengarah pada perbuatan criminal.
Kesimpulan dari pendapat Cavan adalah lebih mengutamakan seluruh anggota masyarakat untuk bertanggungjawab dalam preventif kejahatan. Hal Ini juga sangat tepat bila diterapkan dalam usaha pencegahan terhadap kejahatan mutilasi.

C. Walter C Reckless
menurut pendapat Walter,masalah pokok yang ada adalah usaha untuk mengembangkan kesadaran hukum, karena masalah hukum adalah sebuah unsur utama yang menyokong pencegahan kejahatan.
Walter juga menyatakan bahwa penanaman moral yang kokoh dapat memperkuat emosi dalam diri.Pendapat Walter ini sangatlah efektif bila digunakan dalam usaha pencegahan kejahatan mutilasi.





























BAB III
PENUTUP

Dari hasil pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:

1. Mutilasi adalah aksi yang menyebabkan suatu atau beberapa bagian tubuh (manusia) tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, yang termasuk mutilasi misalnya amputasi, pembakaran, atau flagelasi. Dalam beberapa kasus, mutilasi juga dapat berate memotong-motong tubuh mayat manusia.
2. Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan mutilasi berdasarkan teori psikologi criminal meliputi :
- Personality Characterictic (sifat-sifat kepribadian)
- Teori Psikoanalisa
- Personality Traits
- Moral Developtment Theory
- Pandangan para ahli
3. Dampak terjadinya kejahatan mutilasi terhadap masyarakat :
- Berdasarkan psikologi masyarakat, masyarakat itu lebih cenderung mempunyai sifat imitasi. Jadi kejahatan mutilasi yang tersebar di media massa akan berdampak pada terjadinya hal yang serupa pada masa yang akan dating dikarenakan proses imitasi dari masyarakat.
- Terjadinya krisis kepercayaan terhadap orang lain dalam masyarakat dikarenakan ketakutan yang amat sangat.
4. Pencegahan kejahatan mutilasi dapat bersumber dari beberapa pendapat para ahli yaitu:
- Sutherland dan Cressiy, untuk mencegah terjadinya mutilasi diperlukan suati deteksi diri terhadap orang-orang yang mempunyai suatu kebiasaan yang berbeda. Mengembangkan tingkahlaku melalui pendidikan, memperkuat atau memperdalam tradisi, mengadakan kontrak atausaling pengertian antara manusia yang mengtamakan penilaian norma-norma adalah cara yang baik untuk preventif kejahatan mutilasi.
- Ruth.S.Cavan, menurutnya untuk mencegah terjadinya mutilasi yang diperlukan adalah lebih mengutamakan seluruh anggota masyarakat untuk bertanggung jawab dalam preventif kejahatan. Hal Ini juga sangat tepat bila diterapkan dalam usaha pencegahan terhadap kejahatan mutilasi.
- Walter.C.Reckless, menurutnya untuk pencegahan mutilasi diperlukan kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat dan penanaman moral yang kuat dapat memperkuat emosi dalam diri.










DAFTAR PUSTAKA

Simandjuntak, B. 1981. Pengantar Krimonologi dan
Patologi Sosial. Tarsito. Jakarta.

Soekanto, Soerjono,dkk. 1981. Kriminologi Suatu
Pengantar. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Bawengan, G.W. 1977. Pengantar Psychologi Kriminal.
Pradnya Paramita. Jakarta.



No comments:

Post a Comment